Selasa, 01 November 2011

TUHAN, JENGUKLAH PERASAAN KAMI..


-TUHAN, Jenguklah perasaan kami-


“Ini terlalu berat untukku, Mas..”
Mas Gilang memegang kembali tanganku, dia menatapku dengan mata yang sejak semalam sembab.
“Kau telah mengatakan itu berkali- kali, Ra. Kita harus menyabarkan diri, meletakkan keimanan itu di tempat yang lebih tinggi. Dia tidak mencuri, dia mengambil milikNya” Mas Gilang menyentuh pipiku.
“Tapi kita sudah menjaganya dengan sangat baik. Kau lihat kan Mas, aku rutin meminum susu hamil itu, aku mendadak vegetarian demi kesehatan bayi kita- walaupun ketika makan sayur, rasanya aku mau meledak. Aku selalu menandai tanggal check up ke dokter di kalender kamar kita, dan aku sudah merajut banyak kaos kaki untuknya. Lihat, Tuhan mengambilnya tiba- tiba. Setelah kita persiapkan segalanya. Ini melukaiku, Mas..”
Aku membuang tangan Mas Gilang dari atas pipiku.

Perasaan ini tidak akan ada yang mengerti, Bahkan suamiku sekalipun. Dia tidak tahu betul bagaimana rasanya ketika perutku mulai membesar, dia tidak tahu rasanya bagaimana otot- ototku menahan bayiku setiap kali aku berjalan- seakan aku bicara pada lantai “Jangan minta aku untuk jatuh”.
Mas Gilang menatapku, lalu menatap selang infus yang tersambung ke pergelangan tanganku.
“Berhentilah menangis Sayang. Air matamu jika habis, aku tidak tahu kemana akan membelinya. Tuhan sedang memandangmu, tidakkah kau malu karena menggerutu atas takdir yang dibuatNya? Menyesal kah kau karena Anak kita diambilNya dalam keadaan suci?” Mas Gilang mendekatkan tubuhnya ke sisi kananku.
“Tapi Mas, harusnya aku merawatnya dulu. Membesarkannya dan mendidiknya dengan Ilmu Agama yang sudah kita pelajari”
“Maukah kau mendengar cerita tentang Anak- anak di Syorga?”
Aku menggeleng. “Tidak, Mas sudah menceritakannya hampir setiap malam. Aku sudah hapal ceritanya”
“Kali ini beda, Sayang. Ada Anak pendatang baru. Anak yang disambut dengan penuh suka cita- Anak itu tampak bahagia disana”
“Apakah dia Anak kita?”
“Ya, Ra. Dia anak kita. Anak yang baru pergi dari kita. Apakah kau masih akan menyesali kepergiannya, sementara dia pergi ke tempat paling menawan?”
“Harusnya dia bersamaku, Ibunya. Dia disini bersama kita, Mengenakan Kaos kaki rajutanku dan tidur di tengah- tengah kita”
Mas Gilang menunduk. Begitu dalam. Kami tenggelam dalam sebuah rasa yang begitu rumit dan mematikan hati. Sebelum ini terjadi, Aku mampu melewati berbagai Uji Coba yang diberikan Tuhanku, Aku kerap menasihati suamiku untuk bersabar ketika usaha yang dirintisnya bersama rekan- rekannya justru berbuah rugi. Aku selalu bisa membesarkan hatinya ketika dia tidak bisa memberiku hadiah di hari ulang tahunku. Namun kali ini aku sudah lupa bagaimana rasanya bersabar dan berfikir jernih, ketika aku kehilangan nyawa yang kususun dan kupintal di dalam diriku sendiri.
“Jangan menangis lagi, Tolong…..” Aku merasakan tangan yang hangat kembali mendekap pipiku. Ketika Mas Gilang mengatakannya, aku melihat air mata tertahan di ujung matanya.
“Kau terlalu sering menangisi ini, Ra. Kita terlalu larut dalam musibahnya dan meminggirkan hikmahnya.

Kita hentikan saling menangisi ini, Anak kita telah terpilih untuk menjadi penghuni syorga, dia tidak perlu menjadi pemeran dalam kehidupan yang penuh dengan kekonyolan ini. Tidakkah kau bangga menjadi orangtua yang berhasil menghantarkan anakmu tepat di sisiNya?”
“Lalu pada siapa kita akan memberikan nama- nama bagus yang kita rangkai selama ini?”
“InsyaAllah, kau akan diberikan Anak tampan dan Jelita lagi. Sudahi air matamu, kemasilah kesedihanmu dan ubah menjadi kekuatan. Kelak kau akan lebih menjadi seorang Ibu yang luar biasa. Kehilangan Bayi akan membuatmu sangat berhati- hati dalam menjaga anak- anakmu kelak. Percayalah, Kau adalah wanita yang di pilih untuk merasakan ini, Ira”
“Seandainya ya Mas, dulu aku mendengarkan perkataan tetangga”
“Mereka mengatakan apa?”
Aku menunduk, melihat perutku yang sudah mengecil, Namun aku tidak mendapatkan apa- apa kecuali cerita suamiku. Bahwa Aku telah menghantarkan anakku ke sisiNya dengan sangat tepat.
“Tetangga bilang apa, Ra?”
“Sewaktu aku mengandung, mereka mengingatkanku supaya tidak makan dengan piring sumbing dan tidak duduk di depan pintu. Dan satu lagi, tidak boleh membunuh hewan. Bukankah Mas Gilang sering membunuh tikus ketika aku hamil? Kalau saja itu tidak kita lakukan…….”
Mas Gilang tampak terkejut.
“Ini tidak ada hubungannya dengan Mitos- mitos itu, Ra. Kelahiran dan Kematian itu sudah jelas ditakdirkan olehNya. Bukan karena kau makan dengan piring sumbing atau aku yang membunuh tikus. Ini takdir. Sudahi semua ini, Aku tidak suka melihatmu kehilangan iman seperti ini”
“Mas..”
“Aku bilang sudahi, Ira”
“Aku hanya ingin memintamu membuatkan Susu dan mengambilkan suplemen itu untukku, Mas”
“Kau sudah tidak membutuhkan itu lagi, Kau sudah tidak hamil. Ra, besok kita akan pulang, untuk sementara kau tinggal di rumah ibumu dulu. Biar aku mengurus semua pembayaran dan melihat keuntungan usaha yang sudah aku tinggalkan beberapa hari ini”
****
Pagi itu, seperti didorong gelombang tepat di punggungku dan isi perut yang hampir meledak, aku melarikan diri ke kamar mandi. Setelah merasa memuntahkan banyak hal- aku tidak tahu apa, tiba- tiba aku merasa pengelihatanku kabur. Aku masih sempat mencari pegangan, namun aku sudah merasa tubuhku berpelukan dengan lantai.
“Ra…” Suara itu begitu dekat denganku, dengan Jiwaku.
“Kau sudah sadar, Sayang. Kau tidak apa- apa kecuali satu hal. Ohya, Kau masih ingat dengan Bu Ranti? Dia dokter yang merawatmu di rumah sakit ketika kau keguguran bulan lalu”
Aku memandang wanita itu, dia tersenyum seakan menyimpan banyak kata untuk diucapkannya. Aku mengangguk pelan.
“Kau tahu Ra, Pagi ini ada calon bayi dalam perutmu..” Ucap Mas Gilang sekenanya dan Aku mendadak merasa ingin mengeluarkan semua air mataku dan suaraku.
“Alhamdulillaah..Kau sungguh beruntung....”
Aku menarik Mas Gilang ke pelukanku dan menangis sejadi- jadinya disana. 

“Terima Kasih Tuhan, Kau telah menjenguk perasaan kami” Ucapku mirip seperti bisikan.

Keesokan harinya, Aku melihat sesuatu yang berbeda di dapurku. Ketika aku amati, ternyata Ya Tuhan……….. semua piring sumbing diganti dengan yang baru, lobang got sudah ditutup rapat dengan batu sehingga tikus-tikus tidak akan masuk rumah kami.

Aku langsung menyadari bahwa siapa lagi yang melakukannya jika bukan Kekasih hatiku itu, Aku langsung mencarinya. Aku tidak menemukannya di segala penjuru rumah. Ketika aku akan membuka pintu dan mencarinya di luar, aku sudah menangkap sosoknya di seberang jalan. Mengenakan jacket hitamnya, dengan gagahnya dia berjalan ke arahku- tidak lupa dengan senyumannya yang sejak setahun lalu telah membuatku jatuh hati padanya.
“Lihat, aku membawakanmu Rujak” Mas Gilang mengeluarkan rujak dari kantong dalam jacketnya.
“Mas………” aku hampir menjerit.
“Aku mendengar dari teman- temanku, katanya kau pasti akan meminta ini di tengah malam nanti. Jadi aku belikan sekarang saja”
Aku tertawa dan kontan meraih tangannya lalu menyalamnya.
“Terima Kasih untuk segalanya, Mas. Ini berlebihan..” Kataku dengan hati yang begitu mengangkasa.
Alhamdulillaah…..
::: SSH. Di Kamar Kost :::

1 komentar:

  1. tulisan yang sangat bagus,menurutku, meski saya tidak tahu banyak tentang sastra tapi ini menarik, sungguh

    BalasHapus