Selasa, 04 Desember 2012

PENANTIAN SEPERTI APA, Hah?



Apa yang terlintas dibenakmu jika seseorang Memintamu tuk Menunggunya? 
Menunggu, tanpa tahu akan kapan dia kembali. 
Menunggunya- Bahkan diapun tak mampu memastikan bahwa dia akan menjadi milikmu. 
Kau diminta Menunggunya, Sementara kau tak tahu kapan dia pulang dan apakah setelah dia pulang nanti, Kau akan memilikinya...

Seorang Wanita duduk termangu, dia sebenarnya hanya sedang berfikir. 
Seorang ikhwan pernah memintanya untuk menunggunya, Dan dia menyanggupinya. 
Senja sore itu, Dia  duduk menunduk dengan seorang ikhwan dihadapannya. 
Langit sore telah Menghanyutkan perasaan dan suara serapah dalam keheningan yang entah siapa yang Menciptakannya.

Wanita itu mencoba mengangkat wajahnya, lalu berkata- Namun lebih persis seperti bisikan. 
"Kapan kamu akan pulang?"

Ikhwan dihadapannya hanya memberinya senyuman. 

"Jika kamu pulang nanti, aku adalah orang pertama yang akan kamu temui kan?" tanya wanita itu masih dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Ikhwan itu kembali tersenyum mendengar pertanyaan yang tampak seperti kekhawatiran dan pengharapan itu.

Melihat wanita itu semakin menjadi gelisahnya, Ikhwan itu bicara."Untuk pertanyaanmu yang pertama, Aku tdk tahu. berhubung waktu tidak bisa diterka dimana Ujungnya, Maka aku tidak mampu memastikan kapan aku akan kembali"

Wanita dihadapannya terkejut.

Ikhwan itu kembali melanjutkan "Untuk pertanyaan keduamu, Akupun tidak tahu. Apakah aku akan memiliki Sisa usia untuk menemuimu" Katanya dengan tenang.

Wanita dihadapannya sudah tidak mampu menyembunyikan ketidaksetujuannya terhadap jawaban yang didengarnya. Matanya menatap dengan binar, Sebuah Binar bernama Permohonan kepastian.
Hatinya mengelu, Bahwa dia seorang wanita yang sangat membutuhkan kepastian.

"Jika kau Memilih aku, Maka tunggu aku sampai aku pulang" Kata ikhwan itu lagi.

Wanita itu tidak menggeleng, tidak mengangguk. Dia menangis. 
"Jika aku menunggumu, sampai kapan aku menunggumu?" tanyanya ditengah- tengah hatinya yang terluka. 
"Sampai di Batas waktu.." Jawab ikhwan itu lalu tersenyum dan Meninggalkannya. 
Wanita itu menangis, dia menatap punggung ikhwan itu mulai menjauh. dia mencoba meraih untuk menghentikan kepergian ikhwan itu, setidaknya untuk membicarakan kepastian penantiannya.
Namun semua kelu.
Angin berhembus menjamah tubuh dan hati mereka, seakan mengisyaratkan bahwa mulut mereka tidak perlu untuk berdebat lagi,
Mereka hanya perlu saling memahami dengan hati.

Dan kelemahan hati semakin dirasakannya, ketika ikhwan itu menghilang dari pandangannya. 
"Dia benar- benar pergi. benar- benar pergi..." Ucap wanita itu Benci.

Dan wanita itu memutuskan untuk menanti. 
Jangan pernah bertanya kepadanya tentang apa yang dirasakannya dalam penantiannya,
Karena diapun sudah tidak tahu apa- apa saja yang sudah dilaluinya.
Dia hanya seperti berhadapan dengan dinding, Yang dia tahu hanya ikhwan itu ada dihadapannya dan akan menjemputnya.
Selebihnya, dia tak mau berfikir apapun. 
Malam itu, malam keseratus setelah kepergian seseorang yang bersemayam dihatinya. 
Wanita itu menghadap Rabb- nya untuk mengadukan hati yang sudah tidak kuat menanti tanpa kepastian.

"Mampukah aku bertahan dalam perjalanan lengang ini?
Masih ingatkah dia bahwa aku disini menunggunya?
Bagaimana bisa dia meninggalkanku seenaknya, sedangkan dia tahu bahwa perpisahan sangat tidak enak rasanya?
Begitu tololnya aku menantinya, sementara batas waktu itupun dia tak tahu..
Dan apa yang akan terjadi padaku, Jika setelah aku menanti begitu lama, lalu aku mengetahui bahwa dia ditakdirkan bersama wanita lain?
Penantian seperti apa yang sedang aku lakukan ini?
Dan sampai dimana Batas yang dia katakan itu, Rabb?"

Pengaduan itu membahana dan Mengeras diatas Sajadahnya Malam itu.
Dan ALLAH TIDAK TIDUR, Dia mendengarkan suara- suara hambaNya.
Lalu lihatlah apa jawaban ALLAH, suatu hari nanti..........

Minggu, 02 Desember 2012

Persiapan Menikah II

Untuk Saudariku di bumi Allah . . .

SUPER WOMAN . . . mungkin itulah yang tepat disematkan kepada para wanita sejati impian manusia. Wanita yang sukses dalam karier, dan pendidikan, sekaligus melahirkan anak-anak brilian dalam lingkungan rumah tangga yang serasi. Mereka dituntut mampu berkiprah dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Namun tetap menyandang kewajiban rumah tangga.

Islam sendiri memberikan begitu banyak peluang terhadap pengembangan potensi wanita, karena sebagai manusia wanita mempunyai banyak potensi yang sangat berguna. Potensi kecerdasan, kelembutan sikap, sensitifitas rasa, manajemen yang baik, keteraturan, hingga jumlah yang banyak.

Sejarah telah membuktikan bahwasanya banyak wanita yang telah mengubah sejarah dunia. Sebut saja Marie Curie dan Margareth Teacher. Dalam Islam pun telah kita ketahui sepak terjang Khadijah, Khansa, Ummu Sulaim, Fattimah Azzahra, Sofiyah, Rabi’atul ‘Adawiyah, Aisyah sampai ke Zainab Al Ghazali.

Akan tetapi bagaimana berbagai potensi ini tidak mengubur fitrahnya sebagai ibu dari putra-putranya? Atau istri bagi suaminya? Atau da’iyah bagi lingkungannya?

Saat seorang muslimah masih lajang maka permasalahan ini mungkin tidak terasakan. Mereka masih bebas menentukan kehidupannya sendiri. Kuliah, kursus, bekerja, hingga aktifitas da’wah hingga larut malam masih bebas dijalani dengan mudah. Namun setelah menikah, dimana kewajiban dan tantangan yang dilakoni bertambah, permasalahan ini akan lebih melekat.

Untuk itu perlu beberapa persiapan bagi seorang akhwat muslimah agar kelak dapat menjadikan rumahnya seindah syurga. Syurga yang menyejukkan selepas menerima panasnya aktifitas diluar. Syurga yang indah bagi semua yang bernaung didalamnya

Manajemen Rumah
Seorang akhwat muslimah layaklah memiliki kemampuan dasar rumah tangga. Kemampuan mengatur pernak-pernik rumah. Dari mulai menyalakan kompor, memasak, mengatur interior rumah hingga inventori rumah tangga. Ini adalah skill dasar yang harus dimiliki.

Tidaklah dituntut untuk perfect melakukan segalanya, tetapi minimal mengetahui dasar-dasarnya sehingga rumah dapat nyaman dihuni, karena kebutuhan akan kenyamanan rumah menjadi suatu kebutuhan yang mutlak bagi setiap anggota keluarga. Seorang suami yang lelah sepulang kerja tentu akan bertambah stress apabila mendapati kondisi rumah yang berantakan, lantai yang belum dipel, hidangan yang belum tersedia serta cucian yang menumpuk belum dicuci. Sedikit percikan saja suami akan uring-uringan dan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah hanya tinggal slogan belaka.

Untuk itu walaupun tidak mutlak semua pekerjaan rumah dilakukan oleh istri, tetaplah hal ini diperhatikan. Soal siapa yang akan mengerjakan ini dan mengerjakan itu bisa dikompromikan dengan seluruh keluarga, namun manajemen rumah tetap ditangan ibu rumah tangga.

Untuk itulah tarbiyah akhwat selayaknya menyentuh permasalahan ini, karena tidak semua keluarga muslim mampu untuk mempekerjakan khadimat, sehingga terkadang semua pekerjaan harus dikerjakan sendiri. Bila skill ini tidak dilatih sejak dini, maka akan menyulitkan akhwat dalam perjalanan rumah tangga mereka kelak

Manajemen Keuangan
Dalam banyak rumah tangga seorang istri berperan sebagai Menteri Keuangan. Seorang suami akan menyerahkan semua nafkahnya—sedikit apapun jumlahnya—kepada istri. Ini merupakan kewajiban suami walaupun sang istri juga bekerja dengan pendapatan yang lebih besar. Untuk itu pengaturan keuangan keluarga menjadi tanggung jawab istri, sehingga penting bagi setiap akhwat untuk memiliki kemampuan dasar pengaturan keuangan keluarga. Mudah saja, berapa disisihkan untuk ini, itu dan sisanya—bila ada—ditabung untuk masa depan. Hindari berhutang, walaupun hal ini tidak dilarang, tetapi bisa mengundang fitnah apalagi apabila tidak bisa melunasinya tepat waktu.

Namun kunci utama dalam manajemen keuangan bukanlah terletak pada skill atau ketepatan prediksi pengeluaran, akan tetapi yang dibutuhkan adalah kedewasaan dalam menerima nafkah dari suami baik nafkah besar ataupun kecil.

Dewasa dalam menerima nafkah yang sedikit adalah kesabaran dalam menahan keinginan dan impian. Akhwat adalah seorang wanita juga, yang tidak banyak berbeda dengan wanita lainnya.

Kecenderungan akan perhiasan dan kemewahan dunia lekat pada jiwanya. Namun bagi keluarga muslim, sebisa mungkin hal ini ditekan karena rumah tangga islami bukan bersandar keduniawian, tetapi lebih penting kepada berkah dan qona’ah atas harta tersebut.

Miris mendengar beberapa kasus yang menimpa para ikhwan. Pada saat mereka mencoba untuk menjalin bahtera rumah tangga dengan seorang akhwat muslimah. Dengan proses yang bersih, jauh dari ikhtilat jahiliyyah, namun kemudian ditolak mentah-mentah, baik dari pihak keluarga ( baik dari keluarga ikhwan maupun keluarga akhwat ) maupun dari akhwat itu sendiri. Hanya karena pendapatan bulanan mereka yang tidak memenuhi kriteria, walaupun seorang wanita juga memiliki kebebasan untuk memilih jodohnya, namun janganlah hanya karena harta dunia cita-cita menjalin rumah tangga Islami terkandaskan. Teringat dengan sabda Rasulullah SAW: “Bila datang seorang laki-laki yang engkau ridhoi agamanya, untuk meminang putrimu maka terimalah” disini Rasulullah SAW hanya menyebut kriteria agama, bukan harta atau pangkatnya.

Kedewasaan Mental
Menikah adalah satu langkah menuju tegaknya Khilafah Islamiyah, maka persiapan mental didalamnya laksana persiapan membangun khilafah itu sendiri.

Dewasa dalam menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangannya. Untuk itu sebaiknya para akhwat tidak mematok kriteria tinggi dalam mendapati jodohnya, karena pada akhirnya apabila seseorang dengan kriteria seperti itu belum juga didapatkan, maka yang ada adalah kompromi-kompromi, mencoreti beberapa kriteria, yang pada akhirnya kelanjutan rumah tangganya akan menimbulkan kekecewaan terhadap pasangannya tersebut, karena tidak sesuai dengan impian.

Juga dewasa dalam menghadapi pernak-pernik hidup berumah tangga, karena menjalin rumah tangga bukan hanya menjalin hubungan antara suami dengan istri, tetapi juga hubungan antar keluarga, orang tua, mertua hingga tetangga. Banyak fitnah yang terjadi saat hubungan ini tidak harmonis. Konflik istri dengan mertua, tetangga dan lain sebagainya akan menyulitkan menuju keluarga sakinah karena selalu beradu dengan konflik yang tidak perlu.

Dewasa pula dalam menghadapi kehidupan. Membagi antara aktifitas rumah tangga, da’wah dan aktifitas lain, karena Islam tidak mengebiri aktifitas wanita. Semua potensi wanita layaknya dikembangkan dalam bingkai Islam sehingga menambah dinamika dan keberkahan rumah tangga tersebut.
Dan terpenting adalah dewasa dalam menghadapi perubahan, karena antara kehidupan lajang dengan berkeluarga adalah dua alam yang berbeda. Saat lajang begitu mudahnya seseorang menjalani aktifitas yang diingini tanpa beban, namun saat berkeluarga akan terdapat berbagai batasan-batasan di satu sisi dan dukungan-dukungan disisi lain. Perubahan ini bisa jadi sangat drastis, bisa merubah segala rencana dan impian yang telah ada.

Seperti contoh: ada akhwat dari keluarga berkecukupan menikah dengan ikhwan yang sederhana. Segala fasilitas yang dahulu didapatnya kemudian sirna begitu saja. Bila tidak dewasa dalam memandang permasalahan ini, maka bahtera rumahtangga tersebut bisa berantakan. Istri yang menuntut macam-macam sementara sang suami tidak mampu berbuat apa-apa.

Kita layaknya meneladani sikap istri Umar bin Abdul Aziz, putri khalifah yang bergelimang kekayaan dan bertabur perhiasan. Namun ketika sang suami menjadi khalifah menggantikan ayahandanya, segalanya berubah. Semua perhiasan dan harta miliknya diserahkan ke Baitul Maal, bahkan hingga Umar wafat beliau memilih hidup dalam kemiskinan walaupun telah ditawarkan untuk mengambil kembali harta yang telah disedekahkannya.
Khatimah

Demikianlah, bahwa begitu banyak potensi wanita, begitu banyak peran yang bisa diambilnya. Namun tetaplah Islam mengatur peran wanita pada porsinya. Tidak mengebiri, tidak pula dibiarkan sebebas-bebasnya. Sehingga kemudian kita dapat menyaksikan sebuah peradaban yang dibangun oleh insan-insan bertaqwa, dibangun oleh keluarga-keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah, dibangun oleh masyarakat yang adil dan terbina sehingga mewujudkan suatu kesejahteraan, teratur dalam bingkai syari’ah Allah, berjalan beriringan menggapai ridho ilahi.

Betapa banyak sekolah-sekolah tinggi ternama. Namun tak satu pun mengajarkan pelajaran kiat jitu persiapan-persiapan menikah, apalagi memberikan kisi-kisi cara mudah menikah. Maka tak heran jika sebuah pernikahan yang sebenarnya begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari, terasa sangat awam bagi seseorang yang belum menjalaninya.

Suatu ketika seorang pemuda ditanyai oleh temannya yang sudah lama tidak berjumpa. “Apa kabarmu sekarang, lama tidak jumpa, sudah siap menikah?” Maklum, temannya itu telah lebih dahulu menikah. Setelah berpikir keras dan mengingat-ingat tentang pernikahan, akhirnya ia pun menjawab dengan malu. “Aku masih butuh waktu untuk mempersiapkan diri,” jawab pemuda itu. 

Seiring berjalannya waktu, pemuda itu mulai rajin membaca buku-buku tentang pernikahan. Berkonsultasi kepada orang yang berpengalaman. Setelah saatnya tiba, ia kini merasa siap, dan menyampaikan pada orang tuanya tentang niatnya untuk menikah. Namun apa yang terjadi? Ternyata orang tuanya belum mengijinkan pemuda itu untuk menikah. “Mau kau beri makan apa istri dan anakmu, kerja saja belum pasti,” kata orang tuanya ketus. Akhirnya, pemuda itu pun menunda niatnya untuk menikah…
***
Sungguh pernikahan bukanlah perkara mudah. Sunnah Rasul yang satu ini senilai dengan separuh agama. Sungguh luar biasa bukan. Oleh karenanya, mempersiapkan pernikahan harus dilakukan secara matang. Mungkin kisah di atas tidak semua orang mengalaminya. Akan tetapi menikah itu bukan sim salabim. Dan dalam sekejap dan instan segera terlaksana.

Sampai di sini kita mulai bertanya-tanya, apakah pernikahan itu? Apakah sekadar memilih pasangan hidup yang tampan dan cantik? Apakah sekedar pelarian untuk memuaskan kebutuhan biologis? Apakah sekadar untuk mencari teman curhat permanen? Atau sekadar cobacoba? Semua itu bisa dijawab kalau kita memiliki sebuah visi yang jelas perihal pernikahan.

“Sebelum ke sana, pertama kita harus pahami menikah adalah menyambung silaturahim dua keluarga besar,” kata Ustadz Mohammad Sholeh Drehem. Menikah memang
bukan hanya bertemunya laki-laki dan perempuan. Menurut Ustadz Sholeh, sangat naif jika dalam pernikahan belum ada kesepakatan kedua belah pihak dalam artian keluarga besar. “Makanya harus ada musyawarah dahulu, libatkan semua pihak,” kata alumni Jurusan Ushul Fiqh Universitas Islam Madinah Arab Saudi ini.

Niat Baik pun Perlu Dikomunikasikan
Ketika seseorang telah siap untuk menikah, maka bicarakan dengan orang tua. Walau bagaimana pun orang tua adalah yang merawat dan membesarkan kita. Dalam hal ini, tidak semua orangtua begitu saja sependapat. Hal ini wajar, karena orang tua selalu memiliki pertimbangan dan standart tertentu. Maka tugas kita adalah memahamkan orangtua. Memberikan bukti nyata bahwa kita memang sudah siap untuk menikah.

Sebagai usatadz yang sering menjadi rujukan konsultasi keluarga, Ustadz Muhammad Sholeh Drehem menemui beraneka macam pengalaman tentang pernikahan, Ustad Sholeh menceritakan, beberapa kali menemui kasus terhambatnya pernikahan karena tidak lancarnya komunikasi. Menurut Ustadz Sholeh, pada dasarnya orangtua yang baik tidak akan memaksakan kehendak. Kalaupun itu terjadi, maka tugas seorang anak yang harus mewarnai orang tua. 

“Pahamkan pada orang tua tentang pemahaman Islam yang menyeluruh,” kata bapak empat putra ini. Jadi, komunikasi yang dimaksud bukan hanya ketika mau menikah, namun komunikasi yang lancar sejak jauh sebelum waktu ingin menikah. “Orangtua adalah ladang dakwah yang luar biasa, maka kewajiban seorang anak ketika mulai mengenal nilai-nilai Islam sudah harus mendakwahkan pada orang tuanya,” ujar pengasuh di berbagai kajian ini..

Proses komunikasi tentang niatan untuk menikah memang tidak dapat sama antara yang satu dengan yang lain. Usaha itu butuh waktu. Tidak bisa sehari ya satu bulan, tidak bisa satu bulan yang mungkin beberapa bulan. “Butuh perbaikan diri memang. Dan tunjukkan pada orang tua niat baik kita. Tidak ada yang instan dalam hal menikah,” kata Ketua Ikatan Dai Indonesia Jawa Timur ini.

Ustadz Sholeh mewanti-wanti, jangan sampai menikah tanpa mendapat restu dari orangtua. Betapa sakitnya orang tua, yang melahirkan dan membesarkan, kemudian saat anak sudah dewasa dan mandiri tidak melibatkan orang tua dalam proses pernikahan. “Ini mengkhianati orang tua, menzalimi orang tua,” tegas suami Ustadzah Maryam ini.

Persiapan Ilmu Tentang Pernikahan Banyak orang yang bingung ketika menghadapi pernikahan. Ada yang sibuk mempersiapkan pernakpernik pernikahan dan pesta pernikahan, tetapi lupa mempersiapkan ilmu, mental dan spiritual dalam menjalaninya. Meskipun setiap orang tahu bahwa pernikahan adalah ibadah, menggenapkan setengah agama, tetapi karena kesibukan persiapan perlengkapan nikah dan pestanya sering membuat nuansa ibadah dalam pernikahan tersebut terlupakan.

Ada beberapa persiapan yang perlu dilakukan menjelang pernikahan, yaitu persiapan ilmu tentang pernikahan, persiapan mental/psikologis dalam menghadapi pernikahan, persiapan ruhiyyah menjelang pernikahan serta persiapan fisik sebelum menikah.

Hal yang perlu dipersiapkan adalah memperjelas visi pernikahan. Untuk apa kita menikah. Visi yang jelas dan juga sama antara calon suami dan isteri insya Allah akan melanggengkan pernikahan. Banyak orang yang menikah hanya karena cinta, atau mengikuti tradisi masyarakat. Bisa juga karena malu karena sudah cukup umur tetapi masih belum juga menuju pelaminan. Alasan-alasan seperti ini tidak memiliki akar yang jelas. Bisa juga menjadi sangat rapuh ketika memasuki bahtera rumah tangga, dan akhirnya hancur ketika badai rumah tangga datang menerjang.

Sebagai muslim yang memiliki rujukan hidup yang jelas, tentu kita tahu bahwa menikah itu karena ibadah. Visi pernikahan dalam Islam adalah menimba banyak pahala melalui aktivitas berumah tangga. Menjauhkan diri dan keluarga dari api neraka, dan akhirnya berusaha meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Bila seseorang memiki
visi seperti ini insya Allah hari-hari yang dilaluinya setelah menikah akan berusaha dihadapi sesuai dengan hukumhukum Islam.

Ilmu yang lain yang harus diketahui adalah tentang hukum-hukum pernikahan. Seperti tentang rukun nikah, yaitu mempelai pria dan wanita, dua orang saksi, wali dari pihak perempuan dan ijab kabul. Bila sudah terpenuhi semuanya, insya Allah pernikahan menjadi sah secara agama.

Lalu kewajiban memberi mahar sesuai yang diminta oleh pihak wanita. Lalu masalah walimatul ursy (pesta pernikahan). Tradisi-tradisi daerah bukanlah hal yang wajib untuk dilakukan. Bahkan sebisa mungkin dihindari tradisi yang bertentangan dengan aqidah Islam. Lalu juga mempermudah semua proses pernikahan adalah lebih utama. Juga menyederhanakan pesta pernikahan, tidak bermewah-mewah lebih baik dalam pandangan Islam.

Persiapan Mental
Pernikahan adalah kehidupan baru yang sangat jauh berbeda dari masa-masa sebelumnya. Dalam pernikahan berkumpul dua pribadi yang berbeda yang berasal dari keluarga yang memiliki kebiasaan yang berbeda. Didalamnya terbuka semua sifat-sifat asli masing-masing. Mempersiapkan diri untuk berlapang dada menghadapi segala kekurangan pasangan adalah hal yang mutlak diperlukan. Begitu juga cara-cara mengkomunikasikan pikiran dan perasan kita dengan baik kepada pasangan juga perlu diperhatikan, agar emosi negatif tidak mewarnai rumah tangga kita.

Di dalam pernikahan juga diperlukan rasa tanggung jawab untuk untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Sehingga setiap anggota keluarga tidak hanya menuntut hak-haknya saja, tetapi berusaha untuk lebih dulu memenuhi kewajibannya.
Pernikahan merupakan perwujudan dari tim kehidupan kita untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu kerja sama, saling mendukung dalam segala hal sangat diperlukan. Termasuk dalam pendidikan anak. 

Pernikahan juga merupakan sarana untuk terus menerus belajar tentang kehidupan. Ketika memasuki dunia perkawinan seseorang belajar untuk menjadi bagian dari tim kehidupan. Ketika memiliki anak seseorang belajar untuk mendidik anak dengan cara yang baik. Tidak jarang juga orang tua perlu memaksa diri untuk merubah kebiasaan-kebiasaan buruknya agar tidak ditiru oleh anak. Ketika anak-anak menjelang dewasa orang tua belajar untuk menjadikan anak-anaknya sebagai teman, sebagai bagian dari tim kehidupan yang aktif menggerakkan roda kehidupan, dan seterusnya.

Menikah merupakan sunnah para nabi dan para rasul, disamping sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan dan karunia nikmat dari Allah. Melalui pernikahan, manusia yang berpasangan laki dan perempuan akan memulai menjalani kehidupan baru, yaitu kehidupan rumah tangga, yang menjadi dambaan setiap manusia di muka bumi ini. Demikian ini sudah sunnatullah, yang merupakan siklus kehidupannya sebelum semuanya berakhir, yaitu mendapatkan keturunan.

Di hadapan sepasang suami-istri tersebut membentang berbagai permasalahan yang harus dihadapi bersama. Permasalahan di dalam keluarga sangatlah kompleks dan saling berkaitan, antara satu dengan lainnya. Tidak hanya dari segi syari’at, dunia kesehatanpun akan dihadapinya serta akan mempengaruhi bagaimana syariat itu dijalaninya.

Bagi para calon pasangan yang akan memasuki bahtera rumah tangga, juga bagi mereka yang memulai menapaki kehidupan baru, perlu sedikit mengetahui beberapa hal berkaitan dengan celah-celah kesehatan yang akan mewarnai kehidupannya.



1. Pasca Menikah

Setelah prosesi pernikahan, pasangan baru yang biasa disebut pengantin baru, akan selalu mendapatkan perasaan yang penuh suka cita. Mungkin, masa inilah puncak keindahan dan dambaan setiap insan, baik laki- laki maupun wanita.

Di balik rasa kegembiraan ini, tidak sedikit keluhan yang dialami pasangan baru. Selain harus beradaptasi dalam hal kepribadian masing-masing, masalah kesehatan hampir selalu terjadi pada awal kehidupan barunya. Secara fisik, keluhan sering terjadi pada pihak wanita.

Ada lagi penyakit yang tiba-tiba datang pada saat pengantin baru ini, yaitu gastritis akut. Dikenal dengan penyakit maag. Hal ini disebabkan istri sering terlambat makan, lantaran selalu menunggu sang suami tercinta datang dari mencari nafkah untuk bisa makan berdua. Untuk mencegah datangnya penyakit maag ini, sebaiknya makan tepat waktu, atau saat perut sudah merasa lapar. Kalau menghendaki makan bersama suami, makanlah dengan porsi sedikit lebih dahulu, atau makan camilan untuk mengusir rasa lapar tersebut, kemudian bisa diulangi lagi pada saat suami datang. Hati-hati bagi mereka yang sebelumnya sudah terkena penyakit ini, sebaiknya lebih dijaga supaya penyakit tersebut tidak lebih parah.


2. Menghadapi Kehamilan

Seorang wanita yang sudah bertekad untuk menikah, jauh-jauh sebelumnya harus mempunyai wacana bahwa pasca menikah akan ada hasil cinta kasih bersama suami, yaitu kehamilan yang merupakan takdir dan kehendak Ilahi. Dengan siap untuk hamil, maka secara psikis, kehamilan bisa dihadapi dengan hati ikhlas dan ketenangan.

Kehamilan pertama akan selalu dinanti dan diharapkan oleh setiap pasangan baru. Namun demikian penantian dan harapan janganlah disikapi terlalu berlebihan. Berserah diri kepada sang Pencipta itu lebih baik dalam mengharap kehamilan pertama ini, karena berkaitan juga dengan masalah takdir Allah, dengan tetap selalu melakukan ikhtiar. Sehingga pasangan yang belum diberi karunia anak tidak akan merasa cemas yang berlebihan (anxietas). Kecemasan ini, secara psikis bisa menjadi pemicu terjadinya konflik hubungan suami-istri.

Setelah dinyatakan istri hamil, maka kegembiraan akan terpancar dari pasangan baru ini, dan akan disambut juga oleh keluarga serta kerabat lainnya. Masa hamil muda atau masa mengidam akan dilalui- nya, biasa berlangsung sampai 4 bulan. Namun tak semua wanita hamil muda mengalami masa ini. Mual dan muntah biasa mengiringi ibu hamil muda. Terkadang sampai berlebihan (hiperemesis gravidarum}, sehingga istri mengalami kekurangan cairan atau dehidrasi, yang bisa berakibat lebih buruk terhadap kesehatan dan perkembangan bayinya.

Hadapilah masa ini dengan banyak istirahat. Atasi mual muntah dengan obat-obat anti mual atas resep dokter. Jangan minum sembarang obat anti mual. Usahakan agar selalu minum untuk mencegah dehidrasi dan lemas di tubuh. Dianjurkan menkonsumsi multivitamin, supaya tubuh tidak terlalu lemas. Bila istri mengidam, sangat dibutuhkan kesabaran suami, dan bersikap bijaksana, misalnya dengan memberikan makanan atau minuman yang disukai istri. Namun demikian, si istri pun harus bijaksana dan mengerti, untuk tidak selalu merepotkan dan menyibukkan suami gara-gara mengidam ini, sehingga pekerjaan utama mencari nafkah terabaikan, terlebih lagi dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan.

Pada masa mengidam, sebaiknya mengurangi frekuwensi senggama untuk menghindari bertambah lemahnya kondisi istri. Tetapi, jika memungkinkan bisa dilakukan dengan hati-hati.

Saat kehamilan ini, perlu perhatikan beberapa penyakit yang kadang-kadang singgah. Di antaranya batuk-batuk, sakit kepala, gatal-gatal di kulit, selesma, gangguan kencing, nyeri pinggang bawah serta tulang belakang, nyeri perut bagian bawah dan lain-lain. Penyakit ini hanya ringan, kadang hilang dengan sendirinya seiring bertambahnya usia kehamilan. Namun, apabila penyakit tersebut memperburuk kondisi, sebaiknya berkonsultasi ke bidan atau dokter.

Semakin tua masa kehamilan, kondisi fisik istri akan kembali pulih. Sebaiknya periksa kehamilan secara teratur untuk mengetahui kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik dan sehat. Juga perlu diperhatikan, bahwa berjima’ pada saat sang istri hamil besar dan menjelang saat melahirkan, akan kurang baik bagi kondisi ibu. Seperti halnya hamil muda. Bila terpaksa harus melakukan berjima’, maka dilakukan dengan hati-hati, dan sang istri tetap tidak dalam keadaan keletihan.

3. Menyambut Kehadiran Si Buah Hati

Sebelum si buah hati hadir di hadapan ayah dan ibunya, sudah tentu istri harus menjalani proses persalinan. Hadapilah persalinan ini dengan tawakal dan ridha kepada Allah.
Rasa sakit saat melahirkan dan ikhlas menerimanya, harus sudah dicamkan jauh-jauh sebelum- nya, sehingga secara mental istri sudah siap menjalaninya.

Tidaklah sedikit kaum ibu, setelah melahirkan kadang mengalami kebingungan atau mengalami depresi sesaat. Hal ini disebabkan proses persalinan yang menimbulkan stres dan kelelahan berkepanjangan. Apalagi kelelahan ini berlanjut, karena harus merawat si kecil atau karena menyusui.

Kadang-kadang, bayi yang baru lahir membuat sang ibu bertambah lelah, karena kelakuan bayi. Misalnya sering menangis atau rewel, sehingga kesempatan untuk beristirahat tidak ada sama sekali. Bayi rewel atau sering menangis, ada beberapa kemungkinan penyebabnya. Di antaranya, karena kencing atau pipis, buang kotoran dan ingin segera diganti popoknya, air susu yang belum lancar, kondisi tali pusat bayi karena infeksi, atau ada gigitan serangga dan lain-lain.

Bantuan dan dukungan suami sangat penting untuk memulihkan kondisi fisik dan mental istri. Misalnya, secara bergantian menjaga sang bayi. Kita contoh teladan Nabi Muhammad yang suka membantu istrinya. Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah suka membantu pekerjaan istrinya. Dan jika tiba waktu shalat, beliau keluar untuk menjalankan shalat”.

Banyak dari kaum istri mendapati sebuah kebahagiaan, kesenangan dan ketenangan dalam menjalankan pekerjaan- pekerjaan rumah tangganya, manakala ia ditemani dan dibantu oleh sang suami tercinta. Namun demikian, istri juga harus pintar merawat dan mengasuh anak, serta mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya, sehingga tidak sering meminta bantuan suami, karena tugas suami yang utama adalah mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya.

Bisa terjadi, karena tidak ada saling pengertian dan pembagian tugas di antara suami istri, sehingga menimbulkan perselisihan dan percekcokan yang berakibat buruk, yaitu perceraian, karena istri tidak sabar merawat dan mengasuh bayi, ataupun sang suami sangat egois tidak mengerti kondisi istri yang kerepotan.

Kadang juga, karena kelelahan yang berkepanjangan dan emosi belum stabil, sang ibu akan sering marah dan jengkel melihat si kecil yang terlalu rewel. Hal ini akan berakibat kurang baik bagi bayi, juga bagi ibunya sendiri, karena ada gangguan hubungan secara psikologis antara ibu dan bayinya. Dan justru menyebabkan bayi bertambah rewel atau tidak tenang. Tentunya hal ini bisa dihindari dengan mencari penyebab kerewelan bayi tersebut, sehingga bisa segera diatasi bersama.

Seorang ibu sebaiknya selalu penyabar dan penyayang terhadap keluarganya, karena Allah bersama orang-orang yang sabar. Dan Rasulullah menganjurkan kepada para wanita untuk selalu menyayangi anak-anaknya.

Sangat dianjurkan, apabila ibu terlalu letih pasca melahirkan, untuk segera mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi tinggi. Bila perlu, minumlah multivitamin atau suplemen makanan ataupun minuman. Usahakan untuk bisa beristirahat, meskipun hanya sebentar. Dibolehkan juga meminta bantuan orang lain (khadimah) ataupun keluarga untuk mengurangi kerepotan keluarga.

Pendidikan Anak Dalam Islam

Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami kesenangan hati, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al- Furqan: 74)
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. “
(QS. At Tahrim: 6).
“Bila manusia mati maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu bermanfaat, atau anak shaleh yang mendo’akannya.”
(HR. Muslim, dari Abu Hurairah)


PENDAHULUAN
Segala puji milik Allah Tuhan semesta alam.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasul termulia, kepada keluarga dan para sahabatnya.
Seringkali orang mengatakan: “Negara ini adikuasa, bangsa itu mulia dan kuat, tak ada seorangpun yang berpikir mengintervensi negara tersebut atau menganeksasinya karena kedigdayaan dan keperkasaannya “.

Dan elemen kekuatan adalah kekuatan ekonomi, militer, teknologi dan kebudayaan. Namun, yang terpenting dari ini semua adalah kekuatan manusia, karena manusia adalah sendi yang menjadipusat segala elemen kekuatan lainnya. Tak mungkin senjata dapat dimanfaatkan, meskipun canggih, bila tidak ada orang yang ahli dan pandai menggunakannya. Kekayaan, meskipun melimpah, akan menjadi mubadzir tanpa ada orang yang mengatur dan Mendaya-gunakan untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat.

Dari titik tolak ini, kita dapati segala bangsa menaruh perhatian terhadap pembentukan individu, pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan warga secara khusus agar mereka menjadi orang yang berkarya untuk bangsa dan melayani tanah air.
Mengapa umat Islam memperhatikan pendidikan anak dan pembinaan individu untuk mencapai predikat “umat terbaik”, sebagaimana dinyatakan Allah ‘Azza Wa lalla dalam firman-Nya:
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dariyang munkar …”. (Surah Ali Imran: 110).

Dan agar mereka membebaskan diri dari jurang dalam yang mengurung diri mereka, sehingga kondisi mereka dengan umat lainnya seperti yang beritakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:
“Hampir saja umat-umat itu mengerumuni kalian bagaikan orang-orang yang sedang makan berkerumun disekitar nampan. “. Ada seorang yang bertanya: “Apakah karena kita berjumlah sedikit pada masa itu?” Jawab beliau: “Bahkan kalian pada waktu itu berjumlah banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih air bah.
Allah niscaya mencabut dari hati musuh kalian rasa takut kepada kalian, dan menanamkan rasa kelemahan dalam dada kalian “. Seorang bertanya: “Ya Rasulullah, apakah maksud kelemahan itu?” Jawab beliau: “Yaitu cinta kepada dunia dan enggan mati”.

PERANAN KELUARGA DALAM ISLAM
Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-Islam. Karerena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupanya (usia pra-sekolah). 

Sebab pada waktu tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sudahnya.
Dari sini, keluarga memiliki peran besar dalam pembangunan masyarakat. Karena keluarga merupakan batu pondasi bangunan masyarakat dan tempat pembinaan pertama untuk mencetak dan mempersiapkan personil-personilnya.

Musuh-musuh Islam telah menyadari pentingya peranan keluarga ini. Maka mereka pun tak segan-segan dalam upaya menghancurkan dan merobohkannya. Mereka mengerahkan segala usaha ntuk mencapai tujuan itu. Sarana yang mereka pergunakan antara lain:

1. Merusak wanita muslimah dan mempropagandakan kepadanya agar meninggallkan tugasnya yang utama dalam menjaga keluarga dan mempersiapkan generasi.

2. Merusak generasi muda dengan upaya mendidik mereka di tempat-tempat pengasuhan yang jauh dari keluarga, agar mudah dirusak nantinya.

3. Merusak masyarakat dengan menyebarkan kerusakan dan kehancuran, sehingga keluarga, individu dan masyarakat seluruhnya dapat dihancurkan.
Sebelum ini, para ulama umat Islam telah menyadari pentingya pendidikan melalui keluarga. Syaikh Abu Hamid Al Ghazali ketika membahas tentang peran kedua orangtua dalam pendidikan mengatakan: “Ketahuilah, bahwa anak kecil merupakan amanat bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan, dia siap diberi pahatan apapun dan condong kepada apa saja yang disodorkan kepadanya Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan dan berbahagialah kedua orang tuanya di dunia dari akherat, juga setiap pendidik dan gurunya. 

Tapi jika dibiasakan kejelekan dan dibiarkan sebagai mana binatang temak, niscaya akan menjadi jahat dan binasa. Dosanya pun ditanggung oleh penguru dan walinya. Maka hendaklah ia memelihara mendidik dan membangun serta mengajarinya akhlak yang baik, menjaganya dari teman-teman jahat, tidak membiasakannya bersenang-senang dan tidak pula menjadi suka kemewahan, sehingga akan menghabiskan umurnya untuk mencari hal tersebut bila dewasa. “

TUJUAN PENDIDIKAN DALAM ISLAM
Banyak penulis dan peneliti membicarakan tentang tujuan pendidikan individu muslim. Mereka berbicara panjang lebar dan terinci dalam bidang ini, hal yang tentu saja akan. Apa yang mereka katakan kami ringkaskan sebagai berikut:
“Nyatalah bahwa pendidikan individu dalam islam memiliki tujuan yang jelas dan tertentu, yaitu: menyiapkan individu untuk dapat beribadah kepada Allah SWT. Dan tak perlu dinyatakan lagi bahwa totalitas agama Islam tidak membatasi pengertian ibadah pada shalat, shaum dan haji; tetapi setiap karya yang dilakukan seorang muslim dengan niat untuk Allah semata merupakan ibadah. “(Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Mu’atstsirat as Salbiyah fi Tarbiyati at Thiflil Muslim wa Thuruq ‘Ilajiha, hal. 76.

MEMPERHATIKAN ANAK SEBELUM LAHIR
Perhatian kepada anak dimulai pada masa sebelum kelahirannya, dengan memilih isteri yang shalelhah, Rasulullah SAW memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang yang hendak berkeluarga dengan bersabda:
“Dapatkan wanita yang beragama, (jika tidak) niscaya engkau merugi” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Begitu pula bagi wanita, hendaknya memilih suami yang sesuai dari orang-orang yang datang melamarnya.
Hendaknya mendahulukan laki-laki yang beragama dan berakhlak. 

Rasulullah memberikan pengarahan kepada para wali dengan bersabda:
“Bila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka kawikanlah. Jika tidak kamu lakukan, nisacayaterjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar “

Termasuk memperhatikan anak sebelum lahir, mengikuti tuntunan Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga kita. 

Rasulullah memerintahkan kepada kita:
“Jika seseorang diantara kamu hendak menggauli istrinya, membaca:” Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami “. Maka andaikata ditakdirkan keduanya memiliki anak, niscaya tidak ada setan yang dapat mencelakakannya “.

MEMPERHATIKAN ANAK KETIKA DALAM KANDUNGAN
Setiap muslim akan merasa kagum dengan kebesaran Islam. Islam adalah agama kasih sayang dan kebajikan. Sebagaimana Islam memperhatikan anak sebelum kejadiannya, seperti dikemukakan tadi, Islam pun memberikan perhatian besar kepada anak ketika masih menjadi janin dalam kandungan ibunya. Islam mensyariatkan kepada ibu hamil agar tidak berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin yang dikandungnya.

Sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya Allah membebaskan separuh shalat bagi orang yang bepergian, dan (membebaskan) puasa bagi orang yang bepergian, wanita menyusui dan wanita hamil” (Hadits riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa’i. Kata Al Albani dalam Takhrij al Misykat: “Isnad hadits inijayyid ‘)

Sang ibu harus berdo’a untuk bayinya dan memohon kepada Allah agar dijadikan anak yang shaleh dan baik, bermanfaat bagi kedua orangtua dan seluruh kaum muslimin. Karena termasuk do’a yang dikabulkan adalah do’a orangtua untuk anaknya.

MEMPERHATIKAN ANAK SETELAH LAHIR
Setelah kelahiran anak, dianjurkan bagi orangtua atau wali dan orang di sekitamya melakukan hal-hal berikut:

1. Menyampaikan kabar gembira dan ucapan selamat atas kelahiran.
Begitu melahirkan, sampaikanlah kabar gembira ini kepada keluarga dan sanak famili, sehingga semua akan bersuka cita dengan berita gembira ini. Firman Allah ‘Azza Wa Jalla tentang kisah Nabi Ibrahim’ Alaihissalam bersama malaikat:
“Dan isterinya berdiri (di balik tirai lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari lshaq (akan lahir putranya) Ya ‘qub. “(Surah Hud: 71).

Dan firman Allah tentang kisah Nabi Zakariya ‘Alaihissalam:
“Kemudian malaikat Jibril memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya):” Sesungguhnya Allah mengembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya ” (Ali Imran: 39).

Adapun tahni’ah (ucapan selamat), tidak ada nash khusus dari Rasul dalam hal ini, kecuali apa yang disampaikan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam ketika dihadapkan kepada beliau anak-anak bayi, maka beliau mendo’akan keberkahan bagi mereka dan mengolesi langit-langit mulutnya (dengan korma atau madu) “(Hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud).

Abubakar bin Al Mundzir menuturkan: Diriwayatkan kepada kami dari Hasan Basri, bahwa seorang laki-laki datang kepadanya sedang ketika itu ada orang yang baru saja mendapat kelahiran anaknya. Orang tadi berkata: Penunggang kuda menyampaikan selamat kepadamu. 

Hasan pun berkata: Dari mana kau tahu apakah dia penunggang kuda atau himar? Maka orang itu bertanya: Lain apa yang harus kita ucapkan.
katanya: Ucapkanlah:
“Semoga berkah bagimu dalam anak, yang diberikan kepadamu, Kamu pun bersyukur kepada Sang Pemberi, dikaruniai kebaikannya, dan dia mencapai kedewasaannya” (Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Tuhfatul fi Ahkamil Maulud.)

2. Menyerukan adzan di telinga bayi.
Abu Rafi ‘Radhiyallahu’ Anhu menuturkan:
“Aku melihat Rasulullah memperdengarkan adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan Fatimah” (Hadits riwayat Abu Dawud dan At Tirmidzi.
Hikmahnya, Wallahu A’lam, supaya adzan yang berisi pengagungan Al

lah dan dua kalimat syahadat itu merupakan suara yang pertama kali masuk ke telinga bayi. Juga sebagai perisai untuk anak, karena adzan berpengaruh untuk mengusir dan menjauhkan setan dari bayi yang baru lahir, yang ia senantiasa berupaya untuk mengganggu dan mencelakakannya. Ini sesuai dengan pernyataan hadits :
“Jika diserukan adzan untuk shalat, setan lari terbirit-birit dengan mengeluarkan kentut sampai tidak mendengar seruan adzan” (Ibid)

3. Tahnik (mengolesi langit-langit mulut).
Termasuk sunnah yang seyogianya dilakukan pada saat menerima kelahiran bayi adalah tahnik, yaitu melembutkan sebutir korma dengan dikunyah atau menghaluskannya dengan cara yang sesuai lalu dioleskan di langit-langit mulut bayi. Caranya, dengan menaruh sebagian korma yang sudah lembut di ujung jari lain dimasukkan ke dalam mulut bayi dan digerakkan dengan lembut ke kanan dan ke kiri sampai merata. 

Jika tidak ada korma, maka diolesi dengan sesuatu yang manis (seperti madu atau gula). Abu Musa menuturkan:
“Ketika aku dikaruniai seorang anak laki-laki, aku datang ke Nabi, maka beliau menamainya Ibrahim, mentahniknya dengan korma dan mendo’akan keberkahan baginya, kemudian menyerahkan kepadaku”.

tahnik memiliki pengaruh kesehatan sebagaimana dikatakan para dokter. Dr. Faruq Masahil dalam tulisan beliau yang dimuat majalah Al Ummah, Qatar, edisi 50, menyebutkan: “tahnik dengan ukuran apapun merupakan mu’jizat Nabi dalam bidang kedokteran selama empat belas abad, agar umat manusia mengenal tujuan dan hikmah di baliknya.
Para dokter telah membuktikan bahwa semua anak kecil (terutama yang baru lahir dan menyusu) terancam kematian, kalau terjadi salah satu dari dua hal:

a. Jika kekurangan jumlah gula dalam darah (karena kelaparan).
b. Jika suhu badannya menurun ketika kena udara dingin di sekelilingnya.

4. Memberi nama.
Termasuk hak seorang anak terhadap orangtua adalah memberi nama yang baik. Hadits dari Wahb Al Khats’ami bahwa Rasulullah bersabda:
“Pakailah nama nabi-nabi, dan nama yang amat disukai Allah Ta’ala yaitu Abdullah dan Abdurrahman, sedang nama yang paling manis yaitu Harits dan Hammam, dan nama yang sangat jelek yaitu Harb dan Murrah “(HR.Abu Daud An Nasa’i)
Pemberian nama merupakan hak bapak.

Tetapi bisa baginya menyerahkan hal itu kepada ibu. Bisa juga diserahkan kepada kakek, nenek, atau selain mereka.
Rasulullah merasa optimis dengan nama-nama yang baik. Disebutkan Ibnul Qayim dalam Tuhfaful Wadttd bi Ahkami Maulud, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tatkala melihat Suhail bin Amr datang pada hari Perjanjian Hudaibiyah beliau bersabda: “Semoga mudah urusanmu”

Dalam suatu perjalanan beliau mendapatkan dua buah gunung, lain beliau bertanya tentang namanya. Ketika diberitahu namanya Makhez dan Fadhih, beliaupun berbelok arah dan tidak melaluinya. (Ibnu Qayim Al Jauziyah, Tuhfatul Wadud, hal. 41.)

Termasuk tuntunan Nabi mengganti nama yang jelek dengan nama yang baik. Beliau pernah mengganti nama seseorang ‘Ashiyah dengan Jamilah, Ashram dengan Zur’ah. Disebutkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan: “Nabi mengganti nama ‘Ashi,’ Aziz, Ghaflah, Syaithan, Al Hakam dan Ghurab.
Ia mengganti nama Syihab dengan Hisyam, Harb dengan Aslam, Al Mudhtaji ‘dengan Al Munba’its, Tanah Qafrah (Tandus) dengan Khudrah (Hijau), Kampung Dhalalah (Kesesatan) dengan Kampung Hidayah (Petunjuk), dan Banu Zanyah (Anak keturunan haram ) dengan Banu Rasydah (Anak keturunan balk). “(Ibid)

5. Aqiqah.
Yaitu kambing yang disembelih untuk bayi pada hari ketujuh dari kelahirannya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Salman bin Ammar Adh Dhabbi, katanya: Rasulullah bersabda:
“Setiap anak membawa aqiqah, maka sembelihlah untuknya dan jauhkanlah gangguan darinya” (HR. Al Bukhari.)

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, bahwaRasulullah bersabda:
“Untuk anak laki- laki dua ekor kambing yang sebanding, sedang untuk anak perempuan seekor kambing “(HR. Ahmad dan Turmudzi).
Aqiqah merupakah sunnah yang dianjurkan. Demikian menurut pendapat yang kuat dari para ulama. Adapun waktu penyembelihannya yaitu hari ketujuh dari kelahiran. Namun, jika tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh bisa dilaksanakan kapan saja, Wallahu A’lam.

Ketentuan kambing yang bisa untuk aqiqah sama dengan yang ditentukan untuk kurban. Dari jenis domba berumur tidak kurang dari 6 bulan, sedang dari jenis kambing kacang berumur tidak kurang dari 1 tahun, dan harus bebas dari cacat.
6. Mencukur rambut bayi dan bersedekah perak seberat timbangannya.
Hal ini memiliki banyak manfaat, antara lain: mencukur rambut bayi dapat memperkuat kepala, membuka pori-pori di samping memperkuat indera penglihatan, pendengaran dan penciuman. (Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Auladfil Islam, juz 1.)
Bersedekah perak seberat timbangan rambutnya pun memiliki manfaat yang jelas.

Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, katanya:
“Fatimah Radhiyalllahu ‘anha menimbang rambut Hasan, Husein, Zainab dan Ummu Kaltsum; lalu ia mengeluarkan sedekah berupa perak seberat timbangannya (HR. Imam Malik dalam Al Muwaththa ‘)

7. Khitan.
Yaitu memotong kulup atau bagian kulit sekitar kepala zakar pada anak laki-laki, atau bagian kulit yang menonjol di atas pintu vagina pada anak perempuan. Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah bersabda:
“Fitrah itu lima: khitan, mencukur rambut kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak” (HR. Al-bukhari, Muslim)
Khitan wajib hukumnya bagi kaum pria, dan rnustahab (dianjurkar) untuk kaum wanita.WallahuA ‘lam.

Inilah beberapa etika terpenting yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh orangtua atau pada saat-saat pertama dari kelahiran anak.
Namun, di sana ada beberapa kesalahan yang terjadi pada saat menunggu kedatangannya Secara singkat, antara lain:

A. Membacakan ayat tertentu dari Al Qur’an untuk wanita yang akan melahirkan; atau menulisnya lalu dikalungkan pada wanita, atau menulisnya lalu dihapus dengan air dan diminumkan kepada wanita. ltu semua adalah batil, tidak ada dasamya yang shahih dari Rasulullah, Akan tetapi untuk wanita yang sedang menahan rasa sakit karena melahirkan wajib berserah diri kepada Allah agar diringankan dari rasa sakit dan dibebaskan dari kesulitannya Dan ini tidak bertentangan dengan ruqyah yang disyariatkan.

B. Menyambut gembira dan merasa senang dengan kelahiran anak laki-laki, bukan anak perempuan.
Hal ini termasuk adat Jahiliyah yang dimusuhi Islam. Firman Allah yang berkenaan dengan mereka:
“Bila seseorang dari Merea diberi kabar dengan (kelahiran) anak, perempuan, Hitamlah (merah padamlah) matanya, dan dia sangat marah; ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan padanya. Apakah dia akan memeliharannya dengan menanggumg kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang telah mereka lakukan itu “(An Nahl: 58-59).

Mungkin ada sebagian orang bodoh yang bersikap berlebihan dalam hal ini dan memarahi isterinya karena tidak melahirkan kecuali anak perempuan. Mungkin pula menceraikan istrinya karena hal itu, padahal kalau dia menggunakan akalnya, semuanya berada di tangan Allah ‘Azza wa lalla. 

Dialah yang memberi dan menolak. Firman-Nya:
Dia menciptakan apa yang dikehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang dikehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang dikehendaki atau Dia menganugerahkan kepada siapa yang dia kehendaki-Nya, dan dia menjadikan Mandul siapa yang dikehendaki … “(Surah Asy Syura :49-50).
Semoga Allah memberikan petunjukkepada seluruh kaum Muslimin.

C. Menamai anak dengan nama yang tidak pantas.Misalnya, nama yang berarti jelek, atau nama orang-orang yang menyimpang seperti penyanyi atau tokoh kafir. Padahal menamai anak dengan nama yang baik merupakan hak anak yang wajib atas walinya.
Termasuk kesalahan yang berkaitan dengan pemberian nama, yaitu ditangguhkan sampai setelah seminggu.

D. Tidak menyembelih aqiqah untuk anak padahal mampu melakukannya. Aqiqah merupakan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam, dan mengikuti tuntunan beliau adalah sumber segala kebaikan.

E. Tidak menetapi jumlah bilangan yang ditentukan untuk aqiqah. Ada yang mengundang untuk acara aqiqah semua kenalannya dengan menyembelih 20 ekor kambing, ini merupakan tindakan berlebihan yang tidak disyariatkan. Ada pula yang kurang dari jumlah bilangan yang ditentukan, dengan menyembelih hanya seekor kambing untuk anak Iaki-laki, inipun menyalahi yang disyariatkan. Maka harus kita menetapi sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wasalam tanpa menambah atau mengurangi.

F. Menunda khitan setelah akil baligh.Tradisi ini dulu terjadi pada beberapa suku, seorang anak dikhitan sebelum kawin dengan cara yang biadab di hadapan orang banyak.
Itulah sebagian kesalahan, dan masih banyak lainnya. Semoga cukup untuk kita dengan menyebutkan etika dan tata cara yang dituntunkan ketika menerima kelahiran anak. Karena apapun yang bertentangan dengan hal-hal tersebut, termasuk kesalahan yang tidak disyariatkan. (Disarikan dari kitab Adab Istiqbal al Maulud fil Islam, oleh ustadz Yusuf Abdullah al arifi)

MEMPERHATIKAN ANAK PADA USIA ENAM TAHUN PERTAMA
Periode pertama dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama) merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini memiliki pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periede ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengannyata pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa. (Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Muatstsirat as Salbiyah.)
Karena itu, para pendidik perlu memberikan banyak perhatian pada pendidikan anak dalam periode ini.
Aspek-aspek yang wajib diperhatikan oleh kedua orangtua dapat kami ringkaskan sebagai berikut:

1. Memberikan kasih sayang yang diperlukan anak dari pihak kedua orangtua, terutama ibu.
Ini perlu sekali, agar anak belajar mencintai orang lain. Jika anak tidak merasakan cintakasih ini, maka akan tumbuh mencintai dirinya sendiri saja dan membenci orang disekitamya. “Seorang ibu yang muslimah harus menyadari bahwa tidak ada suatu apapun yang mesti menghalanginya untuk memberikan kepada anak kebutuhan alaminya berupa kasih sayang dan perlindungan. 

Dia akan merusak seluruh eksistensi anak, jika tidak memberikan haknya dalam perasaan-perasaan ini, yang dikaruniakan Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya dalam diri ibu, yang memancar dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan anak. “(Muhammad Quthub, Manhaiut Tarbiyah Al Islamiyah, juz 2.)

Maka sang ibu hendaklah senantiasa memperhatikan hal ini dan tidak sibuk dengan kegiatan karir di luar rumah, perselisihan dengan suami atau kesibukan lainnya.

2. Membiasakan anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama dari awal kehidupannya.
Kami kira, ini bukan sesuatu yang tidak mungkin. Telah terbukti bahwa membiasakan anak untuk menyusu dan buang hajat pada waktu-waktu tertentu dan tetap, sesuatu yang mungkin meskipun melalui usaha yang berulang kali sehingga motorik tubuh akan terbiasa dan terlatih dengan hal ini.
Kedisiplinan akan tumbuh dan bertambah sesuai dengan pertumbuhan anak, sehingga mampu untuk mengontrol tuntutan dan kebutuhannya pada masa mendatang.


3. Harus kedua orangtua menjadi teladan yang baik untuk anak dari awal kehidupannya.

Yaitu dengan menetapi manhaj Islam dalam perilaku mereka secara umum dan dalam pergaulannya dengan anak secara khusus. Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak mengerti apa yang tejadi di sekitarnya, sehingga kedua orangtua melakukan tindakan-tindakan yang salah di hadapannya.
Ini memiliki pengaruh yang besar sekali pada pribadi anak. “Karena kemampuan anak untuk menangkap, dengan sadar atau tidak, adalah besar sekali.

Terkadang melebihi apa yang kita duga. Sementara kita melihatnya sebagai makhluk kecil yang tidak tahu dan tidak mengerti. Memang, sekalipun ia tidak mengetahui apa yang dilihatnya, itu semua berpengaruh baginya. Sebab, di sana ada dua alat yang sangat peka sekali dalam diri anak yaitu alat penangkap dan alat peniru, meski kesadarannya mungkin terlambat sedikit atau banyak.

Akan tetapi hal ini tidak dapat merubah sesuatu sedikitpun. Anak akan menangkap secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran puma, dan akan meniru secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran purna, segala yang dilihat atau didengar di sekitamya. “(Ibid.)

4. Anak dibiasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan dalam pergaulannya. Antara lain: (Silahkan lihat Ahmad Iuuddin Al Bayanuni, MinhajAt TarbiyahAsh Shalihah.)
“Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan kanan. Jika makan dengan tangan kiri, diperingatkan dan dipindahkan makanannya ke tangan kanannya secara halus.

“Dibiasakan mendahulukan bagian kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan kain, baju, atau lainnya memulai dari kanan; dan ketika melepas pakaiannya memulai dari kiri.
“Dilarang tidur tertelungkup dandibiasakan · tidur dengan miring ke kanan.
“Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak tumbuh dengan kesadaran menutup aurat dan malu membukanya.

“Dicegah menghisap jari dan menggigit kukunya.
“Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan dari sikap rakus.
“Dilarang bermain dengan hidungnya.
“Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak makan.
“Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak memulai makan sebelum orang lain.

“Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun kepada orang yang makan.
“Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya mengunyah makanan dengan baik.
“Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini yang tidak ada.
“Dibiasakan kebersihan mulut denganmenggunakan siwak atau sikat gigi setelah makan, sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur.

“Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau permainan yang disenangi, dengan dibiasakan agar menghormati saudara-saudaranya, sanak familinya yang masih kecil, dan anak-anak tetangga jika mereka melihatnya sedang menikmati sesuatu makanan atau permainan.

“Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengulanginya berkali-kali setiap hari.
“Dibiasakan membaca” AZhamdulillah “jika bersin, dan mengatakan
“Yarhamukallah” kepada orang yang bersin jika membaca “Alhamdulillah”.
“Supaya menahan mulut dan menutupnya jika menguap, dan jangan sampai bersuara.
“Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit.
“Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi dibiasakan memanggil dengan kata-kata: Ummi (Ibu), dan Abi (Bapak).

“Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa yang lebih tua darinya, dan tidak memasuki tempat lebih dahulu dari keduanya untuk menghormati mereka.
“Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan.
“Tidak membuang sampah dijalanan, bahkan menjauhkan kotoran
darinya. “Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang dijumpainya dengan mengatakan” Assalamu ‘Alaikum “serta membalas salam orang yang mengucapkannya.
“Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang baik.

“Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih besar darinya, jika disuruh sesuatu yang diperbolehkan.
“Kapan membantah diperingatkan supaya kembali kepada kebenaran dengan suka rela, jika memungkinkan. Tapi kalau tidak, dipaksa untuk menerima kebenaran, karena hal ini lebih baik dari tetap membantah dan membandel.
“Hendaknya kedua orangtua mengucapkan terima kasih kepada anak jika menuruti perintah dan menjauhi larangan. Bisa juga sekali-kali memberikan hadiah yang disenangi berupa makanan, mainan atau diajak jalan-jalan.

“Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain dengan pasir dan permainan yang diperbolehkan, sekalipun menyebabkan bajunya kotor. Karena permainan pada periode ini penting sekali untuk pembentukan jasmani dan akal anak.
“Ditanamkan kepada anak agar senang pada alat permainan yang dibolehkan seperti bola, mobil-mobilan, miniatur pesawat terbang, dan lain-lainnya. Dan ditanamkan kepadanya agar membenci alat permainan yang memiliki bentuk terlarang seperti manusia dan hewan.
“Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak mengambil permainan atau makanan orang lain, sekalipun permainan atau makanan saudaranya sendiri.
terhubung insya Allah ..

 

KAJIAN SEORANG MUSLIMAH YANG MEMPERSIAPKAN DIRI UNTUK MENYEMPURNAKAN IMAN (MENIKAH)

                             
Artikel ini saya peroleh dari berbagai sumber. Mulai dari Buku LaaTahzan for the smart Muslimah, Fiqih Wanita hingga dari berbagai sumber di Internet. Semoga bermanfaat bagi yang membaca dan Kita menjadi pembawa kabar kebenaran bagi Sesama. insyaAllah.
 
“Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang, kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar menjadi cocok dan tenteram kepadanya” (Al-A’raf 189)


Syariat Islam telah mengatur hak suami terhadap istri dengan menaatinya. Istri harus menaati suami dalam segala hal yang tidak berbau maksiat, berusaha memenuhi segala kebutuhannya sehingga membuat suami ridha kepadanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits pernah bersabda, “Jika seorang istri melakukan shalat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, memelihara kemaluannya dan menaati suaminya, niscaya dia akan memasuki surga Tuhannya.” (HR. Ahmad). 


Bahkan dalam hadits lain disebutkan, “Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, tentu aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada Khalik (Sang Pencipta).” (HR. Ahmad). 

Oleh karena itu, seorang istri harus menuruti perintah suaminya. Jika suami memanggilnya, maka dia harus menjawab panggilannya. Jika suami melarang sesuatu maka dia harus menjauhinya. Jika suami menasihatinya maka dia harus menerima dengan lapang dada. Jika suami melarang tamu yang datang, baik kerabat dekat maupun jauh, baik dari kalangan mahram ataupun tidak, untuk masuk rumah selama dia bepergian, maka istri wajib mematuhinya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ketahuilah bahwa kalian mempunyai hak atas istri kalian dan istri kalian juga mempunyai hak atas kalian. Adapun hak kalian atas istri kalian adalah tidak mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian.” (HR. At-Tirmidzi)

Istri Yang Taat
Istri yang taat adalah istri yang mengetahui kewajibannya dalam agama untuk mematuhi suaminya dan menyadari sepenuh hati betapa pentingnya mematuhi suami. Istri harus selalu menaati suaminya pada hal-hal yang berguna dan bermanfaat, hingga menciptakan rasa aman dan kasih sayang dalam keluarga agar perahu kehidupan mereka berlayar dengan baik dan jauh dari ombak yang membuatnya bergocang begitu hebat. 

Sebaliknya, Islam telah memberikan hak seorang wanita secara penuh atas suaminya, di mana Islam memerintahkannya untuk menghormati istrinya, memenuhi hak-haknya dan menciptakan kehidupan yang layak baginya sehingga istrinya patuh dan cinta kepadanya.
Kewajiban menataati suami yang telah ditetapkan agama Islam kepada istri tidak lain karena tanggung jawab suami yang begitu besar, sebab suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan dia bertanggungjawab atas apa yang menjadi tanggungannya. 

Di samping itu, karena suami sangat ditekankan untuk mempunyai pandangan yang jauh ke depan dan berwawasan luas, sehingga suami dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui istri berdasarkan pengalaman dan keahliannya di bidang tertentu.
Istri yang bijaksana adalah istri yang mematuhi suaminya, melaksanakan perintahnya, serta mendengar dan menghormati pendapat dan nasihatnya dengan penuh perhatian. Jika dia melihat bahwa di dalam pendapat suaminya terdapat kesalahan maka dia berusaha untuk membuka dialog dengan suaminya, lalu menyebutkan kesalahannya dengan lembut dan rendah hati. Sikap tenang dan lembut bak sihir yang dapat melunakkan hati seseorang.

Ketaatan kepada suami mungkin memberatkan seorang istri. Seberapa banyak istri mempersiapkan dirinya untuk mematuhi suaminya dan bersikap ikhlas dalam menjalankannya maka sebanyak itulah pahala yang akan didapatkannya, karena seperti yang dikatakan oleh para ulama salaf, “Balasan itu berbanding lurus dengan amal yang dilakukan seseorang.” Tidak diragukan bahwa istri bisa memetik banyak pahala selain taat kepada suami seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya, namun pahala yang didapatkannya tidak sempurna jika tidak mendapatkan pahala dalam menaati suaminya, menyenangkan hatinya dan tidak melakukan sesuatu yang tidak disukainya. 

Anda mungkin menemukan benih-benih kesombongan mulai merasuki istri anda, maka ketika itu hendaklah anda berlapang dada kemudian menasihatinya dengan sepenuh hati. Layaknya sebuah perusahaan, pernikahan juga akan mengalami ancaman serius berupa perselisihan dan sengketa antara individu yang ada di dalamnya. Suami adalah pelindung keluarga berdasarkan perintah Allah kepadanya, maka dialah yang bertanggungjawab dalam hal ini. Sebab, keluarga adalah pemerintahan terkecil, dan suamilah rajanya, sehingga dia wajib dipatuhi. 

Allah Ta’ala telah berfirman, “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisaa` [4] : 31)

Batas-batas ketaatan
Kewajiban istri untuk menaati suaminya bukan bukan ketaatan tanpa batasan, melainkan ketaatan seorang istri yang shalih untuk suami yang baik dan shalih, suami yang dipercayai kepribadiannya dan keikhlasannya serta diyakini kebaikan dalam tindakannya.

Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidak ada ketaatan dalam hal berbuat maksiat akan tetapi ketaatan adalah pada hal-hal yang baik.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud). Ketaatan istri ini harus dibarengi oleh sikap suami yang suka berkonsultasi dan meminta masukan dari istrinya sehingga memperkuat ikatan batin dalam keluarga. 

Konsultasi antara suami dan istri pada semua hal yang berhubungan dengan urusan keluarga merupakan sebuah keharusan, bahkan hal-hal yang harus dilakukan suami untuk banyak orang. Tidak ada penasehat yang handal melebihi istri yang tulus dan mempunyai banyak ide cemerlang untuk suaminya. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam suka berkonsultasi dengan istri-istrinya dan mengambil pendapat mereka dalam beberapa hal penting.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berskonsultasi kepada istrinya, Ummu Salamah pada kondisi yang sangat penting di kala para shahabat enggan menyembelih unta dan mencukur rambutnya. Ketika itu Ummu Salamah meminta Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk melakukannya terlebih dahulu dan tidak berbicara kepada siapapun. Demi melihat hal itu, para shahabat pun melakukannya. Sungguh pendapat Ummu Salamah sangat brilliant!

Akhirnya, kita dapat memahami bahwa Islam telah mengatur hak-hak suami-istri. Jika masing-masing pasangan melaksanakannnya dengan cara terbaik tentu kehidupan rumah tangga akan bahagia, namun jika hak tersebut disalahgunakan dan tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka hal itu dapat menggagalkan sebuah ikatan perkawinan. Intinya adalah mengikuti Al-Qur`an dan hadits dalam menjalankan bahtera pernikahan sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Amiin
tidak sekedar punya keinginan untuk menikah saja alias ’bonek’ (bondo nekat) tapi sebuah niat yang dibarengi dengan persiapan lahir dan batin sehingga ketika saatnya nanti tiba kita tidak ragu untuk melangkah.

Persiapan melakukan apapun adalah awal dari keberhasilan. Apalagi untuk sebuah pernikahan, momen besar dalam kehidupan seorang laki-laki dan seorang permpuan. Momen besar bagi mempelai laki-laki karena ia akan bertambah amanah dari tanggung jawab atas dirinya sendiri menjadi tanggung jawab terhadap sebuah keluarga.
Bermula dari istri dan nantinya anak-anak. Ia akan menerima limpahan perwalian seorang perempuan dari ayah atau wali yang lain. Bagi seorang perempuan momen besar itu lebih luar biasa lagi. Ia akan mempersilahkan seorang laki-laki yang tadinya bukan siapa-siapa, untuk memimpin dirinya. Kerelaan yang sungguh luar biasa.

Untuk sebuah persitiwa bersejarah itulah laki-laki dan perempuan hendaknya memiliki kesiapan diri secara moral spiritual, konsepsional, fisik, material dan sosial.

a. Persiapan Moral dan Spiritual

Kesiapan secara spiritual ditandai oleh mantapnya niat dan langkah menuju kehidupan rumah tangga. Tidak ada rasa gamang atau keraguan tatkala memutuskan untuk menikah, dengan segala konsekuensi atau resiko yang akan dihadapi paska pernikahan.

Jika anda seorang laki-laki, ada kesiapan dalam diri anda untuk bertindak sebagai qawam dalam rumah tangga, untuk berfungsi sebagai bapak bagi anak-anak yang akan lahir nantinya dari pernikahan. Ada kesiapan dalam diri anda untuk menanggung segala beban yang disebabkan oleh karena posisi anda sebagai suami dan bapak.

Jika anda seorang perempuan, harus ada kesiapan dalam diri untuk membuka ruang baru bagi intervensi seorang mitra yang bernama suami. Kesiapan untuk mengurangi sebagian otoritas atas dirinya sendiri lantaran tunduk pada prinsip syura dan ketaatan pada suami. Kesiapan untuk hamil, menyusui. Kesiapan untuk menanggung beban-beban yang muncul akibat hadirnya anak.

Sebelum memutuskan untuk menikah, persiapan diri dari segi moral amat signifikan. Ingatlah pernyataan Allah bahwa wanita-wanita yang beriman adalah untuk laki-laki yang beriman dan wanita-wanita pezina adalah untuk laki-laki pezina. Yang keji hanya layak mendapatkan yang keji pula.


Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita yang keji (pula). Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik (pula) (An-Nur:26)

Jika anda ingin mendapat pasangan yang baik, jadikan diri baik terlebih dahulu. Jika ingin mendapatkan istri yang salehah, jadikan diri anda saleh terlebih dahulu, dan sebaliknya. Bagaimana anda menuntut istri anda sekualitas Fatimah, sedangkan anda sendiri tidak sekapasitas Ali? Bagiamana mungkin anda berharap istri anda setabah Sarah dan Hajar, sedangkan anda tidak sekokoh Ibrahim As.?

Para sahabat dan sahabiyat Nabi Saw. adalah komunitas yang terbina dalam proses tarbiyah Islamiyah secara unik dan berkesinambungan. Mereka adalah sebaik-baik generasi, oleh karenanya laki-laki muslim pada zaman itu mendapatkan pasangan wanita muslimah yang sepadan dalam kebaikan. Pilihan mereka adalah baik dan lebih baik.

Adapun cara mempersiapkan moralitas untuk para calon pengantin sebagaimana yang terjadi pada kurun kenabian, adalah dengan meningkatkan pengetahuan agama dan perbaikan diri secara kontinu melalui forum tarbiyah, ta’lim, training, berguru secara khusus, membaca, silaturahim dan banyak wasilah yang lain. Bersamaan dengan itu jadikan diri cinta beramal saleh dan ihsan. Tidak lupa senantiasa langkah bergabung dengan lingkungan yang baik. Semoga Allah memudahkan langkah usaha itu dan menjadikan diri kita menjadi pribadi taqwa.

Persiapan spiritual bisa anda lakukan dengan berbagai tuntutan yang ibadah baik yang wajib maupun yang disunnahkan. Berdoa kepada Allah senantiasa agar mendapatkan kekuatan dan kemantapan hati dalam meniti hidayah sehingga tidak melenceng dari kebenaran. Istighfar, mohon ampun kepada Allah, dan taubat merupakan cara untuk melakukan evaluasi atau kelemahan diri.
Lebih penting lagi adalah upaya kolektif untuk senantiasa berada dalam kebaikan. Ada upaya secara bersama-sama dari komunitas kaum muslimin untuk mencapai kematangan diri sesuai arahan Islam.

b. Persiapan Konsepsional

Kesiapan konsepsional ditandai dengan dikuasainya berbagai hukum, etika, aturan dan pernak-pernik pernikahan serta kerumahtanggaan. Kadang dijumpai di kalangan masyarakat kita, mereke menikah tanpa aturan Islam tentang pernikahan dan kerumahtanggaan. Wajar kalau kemudian dalam hidup berumah tangga terjadi berbagai bentuk yang tidak bersesuaian dengan sunah kenabian disebabkan oleh ketidakmengertian.

Ada pasangan yang telah bertahun-tahun menikah tapi ternyata tidak tahu bagaimana do’a hubungan suami istri dan bagaimana cara mandi besar.

Ada fenomena di beberapa kalangan masyarakat kita yang tidak memperhatikan faktor kesucian rumah tangga. Berbagai jenis najis tidak dibersihkan dengan tatacara yang sesuai dengan ketentuan fikih. Di antara penyebab semua itu adalah minimnya ilmu mengenai hukum pernikahan dan kekeluargaan.

Bahkan mulai merebak fenomena saat ini banyak terjadi pernikahan antaragama, atas nama kebebasan menjalankan kehidupan beragama. Beberapa kalangan artis melakukannya dengan bangga dan terbuka, dan bahkan ketika salah seorang muslimah yang menjadi artis menikah dengan seorang laki-laki non muslim, ia mengatakan ketika dikonfirmasi, ”Saya tidak mengetahui bahwa menikah antar agama itu tidak diperbolehkan dalam Islam.”

Seakan-akan pernikahan hanyalah peristiwa hidup pada umumnya seperti makan, tidur, mandi, dst. Seakan-akan begitu mudah mereka melaksanakan itu tanpa ada beban bahwa pernikahan adalah sebuah amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.]

Seorang laki-laki dan perempuan harus mengetahui dengan baik dan benar posisi dan peran masing-masing pihak dalam konteks rumah tangga. Apa hak dan kewajiban masing-masing pihak dan juga hak serta kewajiban bersama.
Tata krama pergaulan suami istri dalam rumah tangga dan berbagai pengetahuan yang menyebabkan kebaikan sebuah keluarga perlu dimengerti, sehingga belajar dan menyiapkan diri secara konsepsional merupakan suatu keharusan bagi setiap pribadi.

Cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan persiapan konsepsional adalah dengan banyak belajar, baik dengan diskusi, bertanya kepada ahlinya, mengikuti kajian, ta’lim, pembekalan pernikahan, atau dnegan membaca buku-buku dan mendengarkan ceramah melalui media elektronik. Banyak cara yang bisa dilakukan, yang diperlukan hanyalah niat dan kemauan.

Apalagi ketika Umar bin Khathab memesankan kepada kaum laki-laki, ”Ajari istrimu kandungan surat An-Nur”. Maka semakin menguatkan alasan bagi kaum laki-laki untuk banyak membekali diri agar mampu mengajarkan isi surat An-Nur kepada istrinya. Bukan hanya mengajarkan, namun ia adalah pihak yang menuntun dan mencontohkan pertamakali aplikasi dari isi surat An-nur.

c. Persiapan Fisik

Kesiapan fisik ditandai dengan adanya kesehatan yang memadai sehingga kedua belah pihak akan mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami dan istri dengan optimal. Apabila di antara indikator ”mampu” yang dituntut dalam pelaksanaan pernikahan adalah kemampuan melakukan jimak, maka kesehatan dituntut pada laki-laki dan perempuan salah satunya menyangkut kemampuan berhubungan suami istri secara wajar. Hal yang amat penting dalam konteks kesehatan ini adalah pada sisi kesehatan reproduksi. Bahwa laki-laki dan perempuan akan mampu melakukan fungsi reproduksi dengan baik.

Melakukan pemeriksaan kesehatan kepada ahlinya merupakan satu langkah yang bisa ditempuh menjelang pernikahan. Masing-masing pihak juga bisa mendeteksi dalam diri sendiri adanya penyakit tertentu yang dirasakan selama ini. Laki-laki dan perempuan muslim hendaklah rajin melaksanakan olahraga sebagai bagian dari penjagaan kesehatan dan kebugaran diri.


Oleh karena itu diperlukan kebugaran, bukan saja kesehatan, agar bisa senantiasa energik, tidak malas-malasan, tidak mudah lelah, dan senantiasa memiliki vitalitas tingi. Hidup teratur, makan seimbang dan bergizi, cukup istirahat, olahraga teratur merupakan langkah-langkah untuk menuju kesehatan dan kebugaran fisik.

d. Persiapan Material

Islam tidak menghendaki kita berpikiran materialistis, bahwa orientasi dalam kehidupan hanyalah materi. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa materi merupakan salah satu sarana ibadah kepada Allah.

Islam meletakkan kewajiban ekonomi akibat dari pernikahan ada di tangan suami. Para suami berkewajiban menyediakan kehidupan bagi istri, mulai kebutuhan konsumsi, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dan juga transportasi. Bukan berarti istri tidak boleh bekerja produktif. Hanya saja pada pihak istri bukan merupakan kewajiban untuk produktif di bidang ekonomi.

Persiapan material sebelum pernikahan dimaksudkan lebih kepada kesiapan pihak laki-laki untuk menafkahi dan kesiapan perempuan untuk mengelola keuangan keluarga. Bukan berapa jumlah tersedianya dana untuk melaksanakan pernikahan.

Sebelum menikah, seorang laki-laki harus mengetahui pintu-pintu rizki yang akan menghantarkan dia pada pemenuhan kewajiban dalam menafkahi keluarganya. Setiap muslim hendaknya memiliki optimisme tinggi untuk bisa mendapatkan karunia dari Allah berupa rizki. Sepanjang mereka mau berusaha, jalan-jalan kemudahan itu akan datang. Allah telah berfiman:

Sesungguhnya Kami menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu (sumber) penghidupan (Al-A’raf:10)

Meskipun kaum perempuan tidak mendapatkan beban kewajiban material, akan tetapi bukan berarti tidak boleh bekerja produktif.
Dalam kehidupan sekarang, dimana kebutuhan hidup semakin kompleks, telah banyak dijumpai suami dan istri sama-sama bekerja, sejak mereka belum berumah tangga. Hal seperti ini tidaklah tercela selama mereka berdua saling meridhai dan memilih pekerjaan halal serta sesuai fitrah masing-masing pihak.

e. Persiapan Sosial

Menikah menyebabkan pelakunya mendapatkan status sosial di tengah masyarakat. Jika sewaktu lajang dia masih menjadi bagian dari keluarga bapak dan ibunya, sehingga belum diperhitungkan dalam kegiatan kemasyarakatan, setelah menikah mereka mulai dihitung sebagai keluarga tersendiri.

Membiasakan diri terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan merupakan cara melakukan persiapan sosial. Apabila laki-laki dan perempuan muslim telah mencapai usia dewasa hendaknya mereka mengambil peran sosial di tengah masyarakat sebagai bagian utuh dari cara mereka belajar berinteraksi dalam kemajuan masyarakat. Jika sebelum menikah tidak terbiasa melakukan interaksi sosial seperti ini, biasanya muncul kekagetan ketika telah berumahtangga dengan sejumlah tuntutan sosial yang ada.

Oleh karena itu, belajar berinteraksi dengan realitas kehidupan masyarakat merupakan salah satu langkah yang perlu diambil oleh laki-laki dan perempuan agar nantinya tidak canggung ketika hidup berumahtangga dan bermasyarakat secara riil.

Wuah… ternyata banyak ya yang harus disiapkan? Bukan untuk nakut-nakutin yang mau nikah lho.. justru sebaliknya supaya semakin kuat azamnya sambil mempersiapkan hal-hal di atas tadi. Sudah siapkahkah kita?