Selasa, 01 November 2011

KHITBAH



Allah SWT menjelaskan dalam FirmanNya:

Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula (begitu pula sebaliknya). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang melimpah (yaitu : Surga) (Qs. An Nuur (24) : 26).



Dan Rasulullah SAW telah menerangkan tentang tata cara dan peraturan dalam melaksanakan dan menjalankan khitbah serta anjuran tuk menikah dalam islam.. diantaranya hadits beliau SAW:


* Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang terbanyak (HR. Abu Dawud).
* Jika datang (melamar) kepadamu orang yang engkau senangi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu). Jika kamu tidak menerima (lamaran)-nya niscaya terjadi malapetaka di bumi dan kerusakan yang luas” (H.R. At-Turmidzi)

Apabila seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah ideal, maka demikian pula dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya, sebagaimana bunyi hadits berikut:

* Dari Aisyah, “Nikahilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu¡¨ (HR. Hakim dan Abu Dawud).
* Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman.

Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’ ‘Umar men-jawab, ‘Ya.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya, niscaya aku akan menerima tawaranmu.

Khitbah merupakan pintu menuju pernikahan yang diridhoi dan dianjurkan oleh Allah SWT dan rasulNya, dimana rasulullah SAW bersabda pula:

* Saling menikahlah kamu, saling membuat keturunanlah kamu, dan perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlahmu di tengah umat yang lain (HR. Abdurrazak dan Baihaqi).
* Rasulullah SAW bersabda: “Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !”(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).

Sebagaimana biasanya dalam Islam, segala sesuatu memiliki aturan dan persyaratan yang harus dipenuhi, maka khitbah pun memiliki persyaratan yang wajib dipenuhi, yaitu sebagai berikut:

a. Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahrom), tunggal susuan (rodloah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab kitbah adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad pernikahan.

b. Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya ".

Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama' (Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain memperbolehkan khitbah tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.

Haruskah adanya khitbah?

Jawabannya tentu, Ya harus, karena khitbah memiliki beberapa keutamaan yang tidak bisa diperoleh bila seseorang langsung melaksanakan akad nikah, beberapa keutamaan khitbah adalah antara lain:

* Saling Ta’aruf satu sama lain, hingga sama-sama memiliki gambaran tentang calon suami/istri yang akan dinikahinya, hal tersebut akan memudahkan langkah awal dalam kehidupan berumah tangga.
* Saling memngakrabkan satu sama lain dengan tujuan menumbuhkan mawadah, memupuk rasa kehormatan dan saling menerima, yang kemudian dapat berkelanjutan kejenjang pernikahan

Melihat calon isteri pada dasarnya hukumnya mandub (sunnah) menurut pendapat jumhur ulama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, jld. III, hal. 113).

Adapun dari segi waktu, melihat calon isteri hukumnya boleh (mubah) sebelum khitbah, berdasarkan tunjukan (dalalah) bahasa dan dalil hadits Nabi Saw. Boleh pula dilakukan sesudah khitbah berdasarkan dalil hadits Nabi Saw.
Nabi Saw bersabda: Jika salah seorang kamu hendak mengkhitbah seorang perempuan, maka tidak ada dosa atasnya untuk melihat perempuan itu jika semata-mata dia melihat perempuan itu untuk khitbah baginya, meskipun perempuan itu tidak mengetahuinya. [HR. Ibnu Hibban dan ath-Thabarani, dari Abu Hamid As-Sa’idiy ra. Hadits hasan

Hadits itu dengan jelas menunjukkan bolehnya melihat perempuan sebelum mengkhitbahnya. Maka dari itu, banyak ulama yang membolehkan melihat calon isteri sebelum terjadinya khitbah
Kesimpulannya, bahwa secara syar’i mubah bagi seorang laki-laki untuk melihat perempuan calon isterinya sebelum terjadinya khitbah dari lelaki itu kepada pihak perempuan. Namun dalam melakukannya, tidak boleh dilakukan dengan berkhalwat (berdua-duan secara menyendiri
Adapun melihat setelah khitbah, juga dibolehkan menurut syara’. Diriwayatkan bahwa al-Mughirah ra telah mengkhitbah seorang perempuan. Nabi Saw lalu bersabda kepadanya, “Unzhur ilayha! Fa-innahu ahrâ an yu’dama baynakumâ.” (Lihatlah dia! Karena itu akan lebih mengekalkan perjodohan kalian berdua). [HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i. Lihat Imam ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/113).
Namun apakah khitbah membolehkan seseorang berkhalwat dengan pinangannya?

Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Namun untuk berkhalwat tetap tidak diperbolehkan dalam arti yang sebenarnya, maksudnya bila seseorang benar-benar berkhalwat berdua dengan pinangannya hingga memungkinkan masuknya pihak ketiga [setan] maka hal itu tentunya akan mengakibatkan kemudharatan dan bukan kemaslahatan. Rasulullah SAW bersabda:

„Jauhilah olehmu berduaan dengan perempuan. Demi diariku yang ada ditangan-Nya, seorang laki-laki yang berduaan dengan seorang perempuan, pasti setan akan menjadi teman ketiganya dan seorang yang mencelupkan tangannya ke dalam darah babi yang bercampur lumpur adalah lebih baik daripada ia menyentuh tangan perempuan yangbukan mahramnya“(H.R. Thabrani).

Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sampai terselenggaranya perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh ia dan teman wanitanya bersepian (berkhalwat).
Karena itu, nasihat saya kepada saudara penanya, hendaklah segera melaksanakan akad nikah dengan wanita tunangannya itu. Jika itu sudah dilakukan, maka semua yang ditanyakan tadi diperbolehkanlah. Dan jika kondisi belum memungkinkan, maka sudah selayaknya ia menjaga hatinya dengan berpegang teguh pada agama dan ketegarannya sebagai laki-laki, mengekang nafsunya dengan berpuasa dan mengendalikannya dengan takwa. Sungguh tidak baik memulai sesuatu dengan melampaui batas yang halal dan melakukan yang haram. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :

“ Wahai para pemuda, jika kamu sudah mempunyai bekal, maka segeralah menikah. Karena dengannya pandangan matamu akan terjaga dan nafsu syahwatmu akan terkendali. Jika belum mampu menikah, maka berpuasalah karena puasa itu merupakan benteng (dari hawa nafsu)”(H.R. Bukhari Muslim).

Sebaiknya para bapak dan para wali agar mewaspadai anak-anak perempuannya, jangan gegabah membiarkan mereka yang sudah bertunangan. Sebab, zaman itu selalu berubah dan, begitu pula hati manusia. Sikap gegabah pada awal suatu perkara dapat menimbulkan akibat yang pahit dan getir. Sebab itu, berhenti pada batas-batas Allah merupakan tindakan lebih tepat dan lebih utama.

Allah SWT berfirman:
"... Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Q.S.Al-Baqarah/2: 229)

"Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (Q.S. An-Nur/24: 52).


Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar