Jumat, 31 Juli 2009

KUBERIKAN KESEMPATAN [ lagi] UNTUK CINTA

 
KUBERIKAN KESEMPATAN (lagi) UNTUK CINTA


                  Penulis : Siti Sofiah Hasan Hasibuan

Aku dianiaya seniorku. Dengan tubuh basah kuyup, aku dipaksa mengikrarkan dasa dharma di atas sebuah batu besar. Aku sudah lebih dari lima kali menangis sejak mereka mencubit, mempermalukan hingga mengancamku. Aku merasa tidak memiliki salah apapun. Karena di acara Ospek seperti ini, tidak butuh kesalahan yang dilakukan junior, senior selalu merasa berhak mencincang anak-anak bau kencur sepertiku.

Bersama beberapa temanku, kami disuruh berdiri diatas lumpur yang hampir menenggelamkan betis.
Seorang senior cowok menghampiri kami. Aku baru melihatnya. Entah dimana dia dari tadi. Dia tersenyum.

“kira-kira mau disiksa berapa lama lagi?” tanyanya. Tidak ada jawaban. Ia menunggu beberapa detik sebagai toleransi untuk kami mencari jawaban yang bagus. Tetap tidak ada yang menjawab.
“guna bibirmu itu apa ?" ia berteriak ke wajahku.
Entah perasaan apa yang menjalar di dinding hatiku. Aku merasa bibirku mendadak membesar atau semakin menebal. Ya tuhan, dia bertanya kepadaku.
“jangan disiksa lagi kak akhirnya bibirku berguna juga. Dia diam lalu memelototiku. “enak aja“ bisiknya tepat ditelingaku
Matanya tajam dan hitam.

Kulitnya terang meski tidak terlalu putih. Rambutnya hitam dan gondrong. Tubuhnya kurus dan tinggi. Aku tidak tahu apakah hanya aku yang berlebihan atau memang seperti itu adanya, di mataku ia begitu tampan dan dingin. Aku diam-diam memikirkannya.

Namanya Yoan, dia duduk di kelas tiga saat aku baru menjadi siswi baru di sekolah ini. Dia memiliki seorang pacar – teman sekelasnya- bernama inggrid. Aku tidak berduka atau menagis. Wajar bagiku jika dia memiliki seorang pacar, karena aku memang takkan percaya jika senior-yang telah menjelma menjadi idolaku itu- belum memiliki teman special.
Hari kelima ospek, aku disuruh bernyanyi tepat di depan kak yoan. Sangat memalukan untukku, karena aku memang tidak akan bisa benar-benar bernyanyi di depannya. Ia hanya akan membuat jantungku kurang sehat. Bisakah aku berpindah tempat? oh tuhan.
“udah selesai nyanyinya?” seorang senior melabrakku. Aku menggeleng. Dia memaksaku membuka mulut. aku mulai bernyanyi. Sebenarnya bernyanyi atau tidak, tidak akan ada yang memperdulikanku. Karena suasana ospek yang ricuh dan gaduh.

Tubuhku sedikit kaku saat kak inggrid datang. Dia begitu cantik. Tiba-tiba aku membayangkan wajah kusamku yang terbakar matahari dan bau badanku yang dilumuri keringat bau. Aku hanya akan menjelma menjadi gadis tidak tahu diri jika mencoba membanding-bandingkan diriku dengan seorang inggrid. Aku terus bernyanyi dan berjuang menganggap semua baik-baik saja.
Aku menatapnya dari kejauhan. Memperhatikan apa yang dilakukan dan tentang apa yang berubah dalam dirinya. Dia mungkin tidak tahu namaku meski sudah cukup sering kami berpapasan. Aku semakin menyukainya. Segala hal tentangnya adalah penting untukku. Aku terus memendam rasaku. Dua bulan sebelum kelulusan kak yoan, aku merasa gelisah. Kak yoan akan meninggalkan sekolah ini.

Dan yang aku takutkan adalah perginya dia dari pandangan mataku. Aku bisa menahan hatiku selama ini adalah karena dia masih berada di tempat yang bisa kulihat. Tapi nanti, aku tidak yakin bisa tenang jika dia berada di tempat yang tidak kutahu dan tidak bisa kulihat. Ya, dia pacar kak inggrid dan aku tidak pernah melupakan itu.
Apa yang harus aku lakukan agar dia menyadari keberadaanku ? saat aku memperoleh juara dua umum semester lalu saja, tidak bisa membuat kak yoan menatapku. Apa aku harus menyiapkan benda kenang-kenangan untuknya? oh tidak. Itu sama saja aku mengentuti wajahku sendiri. “ bersahabat aja lewat dunia maya“ dina, sahabatku mematahkan kebingunganku.
“apa? “ tanyaku meminta penjelasan. Dina meletakkan komik detective conan yang sedari tadi dibacanya. Dia menatapku serius.
“coba jadi sahabatnya lewat dunia maya. Kamu bisa dekat tanpa takut atau malu identitasmu terbongkar” katanya . lucu. Tapi entah kenapa hati kecilku tidak menolak saran itu.
Aku memulai perjuanganku dengan membuat sebuah email lalu sebuah friendster, meng- upload foto animasi sebagai foto profil. Dengan nama Queen, aku memulai penyamaran. Kukirimi pesan ke email kak yoan. Mulai dari mengajak kenalan hingga bertanya tentang kesibukan. Hingga memasuki hari kelima penyamaran dunia maya, tidak satu pun ada balasan email dari kak yoan.

Aku memutar otak, akhirnya aku beralih menjadi gadis misterius dengan selalu mengirim sms ke ponsel kak yoan. Tidak ada beda dengan penyamaran lewat email. Aku tidak mendapat respon apapun. Aku merasa tubuhku lemas luar biasa. Sebegitu hebatkah pesona kak inggrid hingga seorang yoan tidak bisa sedikit saja menoleh orang yang mendatanginya? aku benar-benar ingin menyudahi sikap tololku ini.
Aku berjalan menuju toilet lima menit sejak guru matematika meninggalkan kelas. Ketika aku menatap kearah kantin, aku melihat kak yoan sedang duduk sendiri. Aku melupakan tentang sakit perutku dan toilet. Aku menatap pria keren yang tidak jauh dari tempatku berdiri. Tiba-tiba terlintas di benakku untuk kembali mengiriminya sms.
“kamu yoan kan ? aku teman lama kamu”.
Messege sent. Kulihat kak yoan merogoh sakunya. Dipandanginya sebuah benda berwarna silver yang tidak lain adalah ponselnya. Aku merasa tegang. Lebih menegangkan dari lomba olympiade sains dua bulan lalu. Ya tuhan, apa yang akan dilakukannya ? membalas pesanku ? aku merasa ada yang terluka dalam hatiku.

Aku tidak percaya pada apa yang kulihat. Kak yoan tersenyum sinis lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam sakunya. Inikah sikap manusia yang begitu ku puja itu ? oh tuhan, harusnya tadi aku terus berjalan ke toilet dan tidak melihatnya.
Tiba hari yang kutakutkan. Acara perpisahan kelas tiga. Kak yoan akan pergi. Aku tidak bisa berbuat apa- apa. Aku berada di dapur selama acara berlangsung, aku ditugaskan menjadi petugas konsumsi. Beberapa senior memasuki dapur untuk sekedar mengucapkan kata- kata perpisahan pada kami. Aku merasa semakin sakit membayangkan hari esok yang pasti akan sangat melukaiku.
“Lanna, kotak nasi udah cukup belom?“ dina menghampiriku.
“udah. Tapi aku hitung dulu lagi ya". Kuhitung kembali tumpukan nasi kotak dihadapanku. Tiba- tiba suara teman- teman yang dari tadi gaduh mendadak sunyi. Mereka serentak menatap kearah pintu dapur. Seorang senior cowok bernama fadhly masuk. Tiba- tiba dadaku sesak. Seorang pria yang amat kusayangi menyusul masuk dibelakang kak fadhly. Kak yoan masuk.

mereka menjabat tangan teman- temanku. Setelah kak fadhly menjabat tanganku, aku tahu kak yoan yang akan menjabat tanganku. Aku merasa wajahku merah padam. Kak yoan berjalan kearahku. Ia berdiri tepat di hadapanku. Ia memberikan tangannya. Kusambut tangan pria yang tidak berhasil menjadi sahabat dunia mayaku itu. Aku berusaha merekam suhu tangannya. Sedikit dingin. Aku tidak mampu menatap wajahnya, mataku hanya terpaku ke dadanya. Tiba- tiba tubuhku ditarik. Aku dipeluk.
Hari indah itu adalah hari terakhir aku menatap kak yoan. Karena hingga aku lulus dari Sma itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Sekarang, aku sudah menjadi seorang mahasiswi semester tiga. Empat tahun berlalu sejak ia memelukku di hadapan beberapa temanku. Aku tidak mengerti kenapa ia memelukku, namun aku percaya ia tidak benar- benar buta terhadapku.

Karena saat ia mengurungku dengan tubuh dan kedua tangannya, aku merasa ia menjatuhkan kepalanya ke bahuku. Aku faham satu hal saat itu, bahwa ia tahu aku menyukainya namun ia tidak bisa membalas rasaku dan hanya bisa memberiku pelukan. Pelukan pertama dan terakhir.
Lima tahun lebih perasaan ini bersarang dalam hatiku. Ia tidak kunjung hilang meski selama lima tahun itu juga aku tidak pernah tahu kak yoan ada dimana, dengan siapa dia kini dan apakah ia masih akan mengenaliku jika kami bertemu. Jalan hidup setiap orang tidak pernah sama, dan aku sangat menyadarinya. Namun, tidak bisakah jalan hidupku diperindah sedikit saja? Apakah tidak ada pria yang bisa menjadi penawar perasaanku ini ? Seandainya tidak ada dan hanya kak yoan yang kumau, aku ingin tahu keberadaannya sekarang.
Sudah ratusan kali aku mencari kak yoan melalui situs jejaring social, facebook. Beberapa orang muncul dengan nama yoan, namun tidak satupun ada yoan yang kucari. Aku sudah menjadi gadis muka tembok di depan senior- seniorku karena aku sibuk menelpon mereka hanya untuk skeedar bertanya “punya fb atau twitter kak yoan nggak, kak ?” dan jawaban mereka tidak jauh- jauh beda. “nggak ada tuh. Udah lama nggak komunikasi. Ponselnya juga udah lama nggak bisa dihubungi”.
Perjalananku terasa semakin pahit saat aku mendapat kabar dari kak nissa, seorang senior yang pernah kumintai info tentang kak yoan. “aku dengar dari sepupunya, dia kuliah di malang. Sekarang dia lagi pacaran serius sama teman kuliahnya. Namanya iwa. Aku dapat no ponselnya, kamu mau nggak?” Tanya kak nissa.
nggak kak ” jawabku cepat. “loh, kemarin kamu getol banget cari infonya. Sekarang aku udah dapat, kamu malah nggak mau. Gimana sih” kak nissa heran. Ulu hatiku terasa perih. Penantian panjangku mendadak ambruk menimpaku hingga terluka.
nggak usah kak, soalnya orang yang minta info kak yoan udah pindah dari sini” aku berdusta.
loh bukan kamu toh yang perlu info yoan ?”.
“bukan kak” lagi- lagi aku menambah kebohonganku. Aku butuh nomor ponselnya, namun bukan saat ia bersama gadis lain. Karena bukan ini yang kumau.
Aku serius tentang ketidakmauanku menerima nomor ponsel kak yoan. Perasaanku terlalu indah dan sejati untuknya, dan aku tidak akan menodainya dengan cara tidak terpuji- mendekati kak yoan sedangkan aku tahu ia bersama gadis lain- aku tidak pernah berfikir akan meletakkan cintaku di tempat serendah itu. Akhirnya aku kembali memperpanjang waktu kesendirianku. Seakan terlalu memahami kak yoan, seperti itu aku memaklumi kealpaannya terhadapku. Lagi- lagi aku memberinya waktu untuk mencari dan menatapku.
Malam yang semakin larut tidak menyurutkan semangatku menyusun makalah untuk tugas produksi besok. Lagu bondan- Ya sudahlah – membuatku semakin tidak berniat untuk menyerah pada tugas yang semakin banyak, pada hidup dan pada cintaku. Bukankah semua belum berakhir, pikirku. Ponselku bergetar mengagetkanku. 1 new messege.
apa kabar Lan ? Yoan”.
Hah? yoan? kak yoan? Yoan mana??
ya tuhan. Jantungku berpacu hebat. Kepalaku mendadak pusing.
Dia mengirim pesan untukku. Aku kembali memperjelas penglihatanku. Benar, ini dari kak yoan. Aku gemetar. Tiba- tiba nomor itu memanggil. Aku merasa gugup luar biasa. Apakah ada seseorang yang sengaja mengerjaiku atau seseorang sudah memberitahunya bahwa aku menyukainya sejak kelas satu Sma dan selalu mencari info tentangnya ? tuhan, kau tahu kan kalau aku sedang susah bernafas.

Jempolku ternyata lebih berani. Dia menekan tombol Yes, dan
“Assalamu'alaikum Lanna” suara disebrang menggetarkan hatiku.
“wa'alaikumsalam kak ”. otakku masih terus sibuk berfikir apakah yang sedang meneleponku ini kak yoan atau bukan.
“masih ingat aku nggak ?” tanyanya.
“kak yoan yang di Smu yah ?” tanyaku mencoba menebak. Dia tertawa pelan.
“seingatku yang namanya yoan cuma aku deh. Iya, aku senior yang lancang peluk kamu di dapur sekolah” jawabnya dingin.
Aku tidak pernah membayangkan bahwa kemarin malam adalah hari yang sudah kutunggu- tunggu sejak lima tahun lalu. Meski hanya tujuh menit bicara, itu sudah lebih dari cukup untuk mengobati kerinduanku selama ini. Saat aku berada di kampus, kak yoan mengirimiku pesan.

Aku hanya tahu betapa hatiku luluh lantah menerima perhatian- perhatian kecil yang sedikitpun tidak pernah kubayangkan. Pembicaraan kemarin malam ternyata bukan telepon basa- basi, karena sejak itu ia tidak pernah berhenti menanyakan kabar dan kegiatanku. Dia berhasil membuatku sangat bahagia. Namun aku tidak akan melupakan seseorang, kak nissa pernah berkata bahwa kak yoan sedang dekat dengan seorang teman sekampusnya bernama iwa. Sepulang kuliah kuberanikan diri untuk meneleponnya.

Tidak diangkat. Rasa kecewa menyelimuti hatiku. Setelah diangkat ke awan, sekejap ia bisa menjatuhkanku ke bumi.
Kusembunyikan ponselku kebelakang tumpukan baju di lemari. Aku sedang berusaha menjauhkan keinginanku untuk menghubungi kak yoan. Bukankah dia hanya menelepon dan menanyai kabarku, tapi kenapa aku justru menganggap ini sebagai awal yang baik.

Aku prihatin pada diriku sendiri yang menjelma menjadi gadis gede rasa. Kulanjutkan aktivitasku tanpa ponsel. Tiba- tiba terdengar suara dari dalam lemari. Bodoh, aku lupa mematikan nada ponselku. Ternyata aksi menyembunyikan ponsel hanya bertahan kurang dari sepuluh menit. Aku terpaku menatap nama yang muncul di layar ponselku. Kak yoan calling...
“Assalamu'alaikum kak ” sapaku.
“wa'alaikumsalam dek. Tadi nelpon yah ? aku lagi di ruang dosen tadi. Bulan depan aku wisuda. Alhamdulillah ” ujarnya membuat hatiku merasa malu. Aku uring- uringan nggak jelas hanya karena kak yoan tidak mengangkat teleponku. Dia sedang sibuk ternyata dan aku bersikap sok jadi cewek ngambek. Memalukan.
“wisuda kak ? Alhamdulillah ya kak. Smoga semua lancar dan kakak langsung dapat kerja ” ujarku diam- diam semakin kagum.
“Amin ya Allah. Kamu di Jakarta kan? aku jemput yah” katanya mengagetkanku.
“jemput ? jemput apaan kak? bukannya kak yoan sekarang di malang” jawabku.
“bulan depan aku jemput buat nemani aku di wisuda nanti” dia semakin mengagetkanku.
“keluarga kak yoan kan datang” ujarku masih dengan jantung yang sudah menari- nari. jantung menari? berlebihan deh.
“iyah, pasti datang kalau keluargaku. Aku mau kamu juga ada disini. Aku jemput kalau kamu mau”.
Aku merasa badanku panas dingin. Dia mau aku ada disana bersamanya ? tahukah dia kalau setiap kata- katanya selalu berefek besar padaku ?
“Ada kak iwa kan disana?” aduh, pertanyaan bodoh. Memangnya ada masalah apa aku dengan yang namanya iwa itu ? dia pasti akan menjawab “ kan nggak apa- apa. Sekalian aku kenalin sama pacarku iwa nanti”.
Aku benar- benar tidak siap mendengar jawabannya nanti. “ Lan..” panggilnya. “iya kak ” sahutku. Hening sejenak. “

"Aku sekarang sendiri. Tidak terikat hubungan dengan siapapun. Aku tahu kamu mencariku dan tahu soal iwa pasti dari salah seorang temanku kan ? terima kasih sudah mencemaskanku. bulan depan aku akan sampai di Jakarta dua hari sebelum wisuda. Kamu mau mendampingiku dek ?” tanyanya lembut.
Hatiku bergetar. Mataku terasa panas dan basah. Dia begitu mengharapkan dan menghargaiku. Ini sangat indah. Kubayangkan kak yoan dengan wajah dan tatapan dingin menjemputku dan menginginkanku menjadi pendamping di hari bersejarah dalam hidupnya. “ insya allah aku mau kak. Tapi sejak kakak lulus Sma, kita belum pernah bertemu lagi” aku mengkhawatirkan akan ada kekecewaannya terhadapku nanti setelah bertemu.
“kamu terlalu parno dek. Ya sudah, sholat ashar sana. Nanti malam aku telepon lagi”.
Hari itu benar- benar tiba. Kak yoan meneleponku dan mengatakan bahwa ia sudah berada di depan kampusku. Dia sudah memberitahuku jauh- jauh hari dan aku sudah susah payah mempersiapkan mental.

Hari ini, segala yang aku persiapkan sama sekali tidak membantuku. aku berjalan menuju gerbang kampus, tidak ada siapapun disana. Saat aku mencoba meneleponnya, satpam kampus menghampiriku dan mengatakan seorang pria menungguku di samping tempat parkiran. Aku merasa jantungku semakin tidak bisa diajak kompromi. Aku memperlambat langkahku. Aku ingin penyakit grogi-ku ini sembuh sebelum aku sampai dihadapannya.

Aku semakin tidak kuasa mengontrol jantungku, seorang pria berdiri membelakangiku. Dia masih tetap kurus, dia memakai kaos hitam, jeans hitam, kulitnya tetap terang seperti dulu. “ Kak yoan” panggilku. Pria itu membalikkan badannya. Aku terhenyak. Dia benar kak yoan. Tubuhku gemetar. Kak yoan berjalan kearahku. Dia menatapku lekat. Waktu terasa berhenti. Matanya yang hitam dan tajam terasa membekukan ekspresiku. Aku sendiri tidak tahu, aku sedang tersenyum, tertawa atau hanya diam seakan melihat sesuatu yang sangat istimewa.
“Kamu udah selesai jam kuliah ? besok kan sabtu, kampus libur, jadi nggak ada masalah kan ?” tanyanya tersenyum. Aku mengangguk.
Dia terus mencuri pandang ke arah pipiku, Oh Noo...aku mau pingsan.
Setelah makan siang, kami berangkat ke malang dengan naik kereta api. Aku duduk sebelah jendela dan dia disampingku. Perasaanku terasa berantakan ketika kak yoan memakaikan kaos kaki untukku karena cuaca yang sangat dingin. Aku menutup tirai jendela saat angin menabrak wajahku dan membuat rambutku berantakan. Saat malam tiba, dia tidur dengan lelap. Kuperhatikan wajahnya secara detail. Jantungku berdegup kencang.

Pria ini begitu tampan, dingin dan mempesona. Aku masih belum yakin dia bisa membuat keputusan dengan memilihku sebagai pendampingnya di wisuda nanti. Tiba- tiba matanya terbuka. Aku terlambat untuk berpura- pura tidak melihatnya.
"Aku nggak punya jerawat atau komedo. Jadi percuma saja kamu mencari- cari kekuranganku” ujarnya sambil menyelimutiku dengan sweater miliknya.
Jam 07.28 pagi kami sampai di malang. Kak yoan menenteng tasku dan menuntunku keluar dari gerbong. Perasaanku terasa kuat dan mantap. Dia memang belum mengatakan apa- apa padaku, dia belum memintaku untuk menjadi seseorang yang terdekat untuknya. Namun dia bukan pria pecundang yang akan mengabaikanku setelah memberiku harapan sebesar ini.
Kak yoan membawaku ke sebuah rumah berwarna cokelat muda. Tidak kulihat tanda- tanda bahwa rumah itu kost atau kontrakan mahasiswa. Menyadari kebingunganku, kak yoan menjelaskan bahwa ini adalah rumah tantenya.
“orang tuaku ada di dalam. Mereka tahu kalau kamu akan datang. Jadi dua hari ini kamu bersama kami di rumah ini”.
Ya tuhan, seluruh keluarga dari orang tua hingga tantenya ada di rumah ini. Aku merasa sangat kikuk. Seorang wanita berusia sekitar 47-an menghampiri kami. Otakku mulai menebak, ini pasti ibu atau tante kak yoan.
“Ma, ini Lanna” kak yoan mencium tangan wanita itu. Aku merasa wajib mengikuti apa yang dilakukan kak yoan. Wanita itu tersenyum lalu membimbingku masuk ke dalam rumah. Pagi itu aku disambut bak menantu idaman. Aku tersanjung. Namun ini bukan untukku. Aku hanya sekedar teman kak yoan. Malamnya aku tidur bersama sepupu kak yoan. Aku tidak menyangka, mereka amat menerimaku.
Hari bersejarah itu akhirnya tiba. Aku beserta keluarga besar kak yoan menghadiri acara wisudanya. Mengenakan toga, kak yoan seperti pangeran tampan yang hendak merayakan keberhasilannya. Warna toga yang hitam semakin memperkuat citra dinginnya. Di tengah- tengah keluarganya aku merasa semakin terpikat pada seniorku itu. Acara berlangsung hikmad.

Aku terus menatap wajah kak yoan, betapa ia sangat menikmati detik- detik terakhir di kampusnya ini. Saat acara berakhir, semua wisudawan saling berjabat tangan, berpelukan meluapkan rasa bangga dan haru. Anganku melayang mengingat masa- masa acara perpisahan angkatan kak yoan saat Smu.

Tidak pernah terpikir olehku lima tahun yang lalu bahwa aku akan mendampinginya di acara wisudanya. Aku hanya berfikir bahwa saat ia memelukku dulu, itu adalah kali pertama dan terakhir aku menyentuhnya.
Kak yoan menghampiri kami. Dia memeluk orang tuanya, tante, om, adik dan sepupunya. Dia melangkah kearahku. Aku teringat saat di dapur sekolah dulu, dia berjalan kehadapanku, memberikan tangannya lalu memelukku. Namun kini tidak akan mungkin, ada ayah ibunya bersama kami. Kak yoan menatapku. Lagi- lagi tatapan dingin itu. Dia memberikan tangannya.

Kusambut tangannya. Dia menggenggam tanganku lama sekali. aku merasa ia sedang mengungkapkan banyak hal lewat tangannya.
Setelah mengabadikan moment- moment penting itu, kami semua beranjak untuk makan siang. Kak yoan menahanku dan meminta izin pada keluarganya kalau dia ingin berbicara sebentar denganku. Aku tersenyum dalam hati. Dia membawaku ke sebuah tempat yang tidak terlalu banyak orang.
“kakak keliatan gemuk deh pake toga” candaku. Dia tertawa sambil melipat toga bagian perutnya. Aku tertawa melihat tingkahnya. Tiba- tiba dia menggenggam kedua tanganku.
“mau dikenalin sama iwa nggak ?” tanyanya. Aku kaget. Aku menunduk dalam. Entah apa yang menjalar di sudut hatiku. Kak yoan menatapku dalam. Dia tersenyum.
“Aku becanda sayang…” ucapnya membuatku berdebar.
Kutatap matanya yang sudah sejak tadi memandangku. Tiba- tiba ia merapatkan tubuhnya. Ia memelukku. Aku terhenyak. Deru dihatiku meluap hebat. Kupeluk erat tubuh pria yang baru setengah jam lalu resmi menjadi sarjana tekhnik ini. Dia memelukku lama dan berbisik
“Jadikan aku yang terakhir ya sayang…”. Kujawab dengan anggukan pasti.
Inspiried by : My best friend's Experience
*****