Rabu, 24 Juni 2015

Sampai Jumpa Di Langit




Ini sebuah topik yang belum selesai. Aku tidak ahli dalam hal ini.
Mereka semua terus bertanya, bahkan sampai pada tahap menghakimi tentang kenapa hingga saat ini aku belum memiliki pendamping. Mereka menyaksikan beberapa orang telah datang ke rumah. Dengan berbagai latar, menawarkan banyak hal, dan itu demi Allah, tidak membuatku terenyuh. Aku kadang memaksakan diri sendiri untuk bisa menerima yang paling baik di antara mereka, namun tolong jelaskan padaku, kenapa aku tidak memiliki rasa yakin untuk berkeluarga dengan salah satu dari mereka.

Kuhantar do'a-do'a ke langit. Bukan meminta yang sempurna. Buat apa aku meminta yang sempurna? Aku tidak lupa bahwa aku pun hanya seonggok daging yang jika Allah tidak merahmati, maka tidak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya meminta yang membuatku merasa "Ya, He is." hanya tiga kata itu. Dan sampai detik aku menulis ini, entah, semua masih seperti gumpalan karbon. Misteri.

Seringkali kutakut-takuti diriku dengan hadith Rasulullaah SAW bahwa janganlah menolak lelaki yang baik, sebab jika menolak pinangannya, akan terjadi kerusakan besar di muka bumi. Kutakut-takuti diriku dengan hadith itu agar aku bersedia menerima. Namun untuk kesejuta kalinya kuminta, jelaskan padaku, kenapa jiwaku mengerucut saat memikirkan mereka. Pintu hatiku menolak. Tidak ada rasa bahagia. Apalagi keyakinan. Bukankah Nabiku juga sangat mementingkan keridhaan wanita? Jika untuk memasuki agam Islam yang sudah mutlak kebenarannya ini saja TIDAK ADA PAKSAAN, apalagi untuk pernikahan yang hukumnya sunnah.

Ini bukan semacam pembelaan diri. Dalam beberapa poin, aku tahu soal kelemahan ilmuku. Aku sadar. Namun aku yang wanita biasa namun dengan misi besar ini pun memiliki harapan hidup dengan lelaki yang saat memikirkan dan memandangnya aku merasa CUKUP. Aku mencari seseorang yang membuatku tidak perlu mencari siapapun lagi. Ini bukan tentang lelaki sempurna. Bukan. Ini tentang kecocokan jiwa. Chemistry yang kuat, bahkan sekalipun perkenalanmu dengannya sangat minim. Chemistry kalian bekerja.

Aku tahu ini adalah pernyataan yang aneh bagimu. Aku tidak minta difahami, aku hanya ingin agar siapapun menyadari, bahwa ada hak asasi pada setiap pilihan selama itu tidak menentang syariat.

Ustadz Salim A. Fillah mengatakan  yang kurang lebihnya begini:

"Ruh itu saling mengenal. Ada semacam kode rahasia. Dan jika ruh telah bertemu dengan pasangannya sesama ruh, mereka akan mudah saling mengenali. Memahami. Bahkan sekalipun di antara pemilik ruh itu belum berbicara secara langsung. Itu adalah ruh yang sudah saling bertemu. Saling mengenal. Dan itu tidak kau rasakan pada semua orang. Hanya pada yang tertentu."

Saat membaca itu, aku merenung lama. Aku merasakan kebenarannya. Ini bukan soal seseorang yang kelewat idealis. Aku harap kita ikhlaskan saja kenyataan bahwa memang tidak semua orang memiliki cara pandang yang sama. Aku akan menjadi seorang isteri yang mematuhi segala perintah ma'ruf suami, aku akan menjadi kekasih sekaligus sahabat sejatinya. Satu-satunya yang tidak akan meninggalkannya apapun yang terjadi. Aku harus sanggup melupakan siapa diriku demi mencari keridhaannya. Dan kau tahu, aku tentu tidak akan asal menjatuhkan pilihan. Rakyat memilih khalifahnya. Aku memilih pemimpinku. Sekali lagi bukan harta. Ini soal jiwa.

Aku selalu mampu mencintai orang dalam jangka panjang, dari jiwanya. Dan aku mencari itu pada seseorang yang akan hadir nanti. Bersamaan dengan itu, kuusahakan diriku agar bisa menjadi seperti yang dia butuhkan. Menjadi asisten dalam kehidupannya. Menjadi wanita dalam hati dan fikirannya. Menjadi seseorang yang bisa diandalkan setiap kali ia menghadapi kebuntuan.  Atas izin Allah.

Ini soal jiwa. Karakter.

Ayahku mengatakan "Jika berjalan dengan orang yang kita sukai jiwanya, kita akan menjadi orang yang tidak terduga. Tiba-tiba saja kita berkembang pesat. Sebab rasa cinta dan cukup kita terhadap jiwanya membuat kita rela dan ikhlas melakukan perjuangan apapun. Jika keduanya saling merasakan kekuatan itu satu sama lain, bisa kamu bayangkan peradaban semacam apa yang akan mereka bangun."

Aku dibesarkan oleh seorang Ayah yang berjiwa besar. Lelaki sederhana namun dengan jiwa yang mewah. Lelaki dengan kemeja biasa, namun dengan visi dan misi besar. Dia lebih menyukai sandal jepit, namun akan menjadi sahabat terbaikku dalam membicarakan soal pembuatan film dan project buku. 

Kau tahu, dulu saat aku berusia 20 tahun, saat duduk di semester 2, aku pulang ke Medan. Saat aku sedang membongkar-bongkar kameraku di ruang keluarga, tiba-tiba Ayah datang dan duduk di sampingku.

"Nak, seandainya ada lelaki yang pekerjaannya seorang sopir, tapi dia sangat santun dan punya pola fikir yang sangat bagus, karakternya bagus, Ayah akan menikahkanmu dengannya. Bahkan sekalipun kamu masih kuliah."

Jantungku berdegup. Tenggorokanku tercekat.

Tanganku berhenti mengotak-atik kamera. Aku sangat faham siapa yang bicara. Seorang Ayah yang sudah melewati segala garam dalam kehidupan. Lelaki yang bisa membuatku langsung percaya pada setiap yang dikatakannya, bahkan sekalipun aku belum membuktikan kebenarannya. Aku otomatis percaya.

"Ayah..." kupandang wajah Ayah. Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Ada rasa takjub, sekaligus takut. Aku sangat mencintai dan menyeganinya.

Dan beberapa waktu sebelum kepergiannya, Ayah memintaku untuk segera menikah. Kujelaskan apa adanya. Bahwa aku belum menemukan yang pas. Dan aku meminta dengan hormat, agar Ayah saja yang mencarikan untukku. Aku ridha. Aku akan menerima siapapun lelakinya. Namun, kau tahu apa yang dilakukan Ayah?

Ayah menaruh tangannya di ubun-ubunku.

"Ayah bisa saja meminta seseorang agar datang ke rumah ini. Tapi anakku, sejak kecil, Ayah sudah mendidikmu. Kau sudah terlalu dewasa untuk sekedar kuatur-atur terkait privasi seperti itu. Kau tahu seperti apa yang kau harapkan. Ayah percaya padamu. Ayah ingin kau menikah dengan lelaki yang kau mau. Dia pasti yang terbaik."

Dialog itu sejatinya sering kudengar di dalam film dan sinetron. Namun saat kualami secara langsung, saat itu dikatakan oleh Ayah, aku seketika merasa lemah lunglai. Kupeluk Ayah. Kurasakan betapa jiwanya telah menyatu dengan jiwaku. Dia selalu membuatku merasa semakin real. Semakin hidup. Semakin dimanusiakan.

Untukmu, menantu Ayahku di masa depan...
Dari kalanganmu, tentu ada wanita yang lebih layak dibanding aku.
Dan begitupun dirimu, telah ada yang lebih awal datang sebelummu.
Namun Allah mengatur kisah kita begini adanya.

Aku tidak tahu siapa dirimu. Entah seorang yang sudah pernah kukenal sebelumnya, atau seseorang yang saat kutulis ini- kita sama sekali belum pernah bertemu. Bagaimana jalan Allah mengenalkan kita, aku tidak tahu. Tapi yang pasti, aku persiapkan diriku agar menjadi orang yang membantu IBUNDAMU TERCINTA untuk membahagiakanmu di dunia dan akhirat.

Barangkali di bumi kita belum diperjumpakan Allah, tapi kita bisa berjumpa di langit terlebih dahulu. Kita naikkan do'a- do'a panjang. Biarkan ia menembusi meteor, menembusi langit, terus meroket tanpa peduli apakah di atas sana ada gravitasi atau tidak, do'a kita tetap saja bertemu di pintu Allah.

Sampai jumpa di langit, Sayyid.
Semoga Allah melindungimu. Mengampuni dosa-dosamu. Merahmati kehidupanmu.
Ditajamkan bathinmu. Ditambah pengetahuanmu. Semoga ridha Tuhanku, ridhamu dan ridha Ibumu berada padaku. Insyaa Allah.




Tertanda, asistenmu, Sofiah Hasan :)