Rabu, 24 Juni 2015

Sampai Jumpa Di Langit




Ini sebuah topik yang belum selesai. Aku tidak ahli dalam hal ini.
Mereka semua terus bertanya, bahkan sampai pada tahap menghakimi tentang kenapa hingga saat ini aku belum memiliki pendamping. Mereka menyaksikan beberapa orang telah datang ke rumah. Dengan berbagai latar, menawarkan banyak hal, dan itu demi Allah, tidak membuatku terenyuh. Aku kadang memaksakan diri sendiri untuk bisa menerima yang paling baik di antara mereka, namun tolong jelaskan padaku, kenapa aku tidak memiliki rasa yakin untuk berkeluarga dengan salah satu dari mereka.

Kuhantar do'a-do'a ke langit. Bukan meminta yang sempurna. Buat apa aku meminta yang sempurna? Aku tidak lupa bahwa aku pun hanya seonggok daging yang jika Allah tidak merahmati, maka tidak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya meminta yang membuatku merasa "Ya, He is." hanya tiga kata itu. Dan sampai detik aku menulis ini, entah, semua masih seperti gumpalan karbon. Misteri.

Seringkali kutakut-takuti diriku dengan hadith Rasulullaah SAW bahwa janganlah menolak lelaki yang baik, sebab jika menolak pinangannya, akan terjadi kerusakan besar di muka bumi. Kutakut-takuti diriku dengan hadith itu agar aku bersedia menerima. Namun untuk kesejuta kalinya kuminta, jelaskan padaku, kenapa jiwaku mengerucut saat memikirkan mereka. Pintu hatiku menolak. Tidak ada rasa bahagia. Apalagi keyakinan. Bukankah Nabiku juga sangat mementingkan keridhaan wanita? Jika untuk memasuki agam Islam yang sudah mutlak kebenarannya ini saja TIDAK ADA PAKSAAN, apalagi untuk pernikahan yang hukumnya sunnah.

Ini bukan semacam pembelaan diri. Dalam beberapa poin, aku tahu soal kelemahan ilmuku. Aku sadar. Namun aku yang wanita biasa namun dengan misi besar ini pun memiliki harapan hidup dengan lelaki yang saat memikirkan dan memandangnya aku merasa CUKUP. Aku mencari seseorang yang membuatku tidak perlu mencari siapapun lagi. Ini bukan tentang lelaki sempurna. Bukan. Ini tentang kecocokan jiwa. Chemistry yang kuat, bahkan sekalipun perkenalanmu dengannya sangat minim. Chemistry kalian bekerja.

Aku tahu ini adalah pernyataan yang aneh bagimu. Aku tidak minta difahami, aku hanya ingin agar siapapun menyadari, bahwa ada hak asasi pada setiap pilihan selama itu tidak menentang syariat.

Ustadz Salim A. Fillah mengatakan  yang kurang lebihnya begini:

"Ruh itu saling mengenal. Ada semacam kode rahasia. Dan jika ruh telah bertemu dengan pasangannya sesama ruh, mereka akan mudah saling mengenali. Memahami. Bahkan sekalipun di antara pemilik ruh itu belum berbicara secara langsung. Itu adalah ruh yang sudah saling bertemu. Saling mengenal. Dan itu tidak kau rasakan pada semua orang. Hanya pada yang tertentu."

Saat membaca itu, aku merenung lama. Aku merasakan kebenarannya. Ini bukan soal seseorang yang kelewat idealis. Aku harap kita ikhlaskan saja kenyataan bahwa memang tidak semua orang memiliki cara pandang yang sama. Aku akan menjadi seorang isteri yang mematuhi segala perintah ma'ruf suami, aku akan menjadi kekasih sekaligus sahabat sejatinya. Satu-satunya yang tidak akan meninggalkannya apapun yang terjadi. Aku harus sanggup melupakan siapa diriku demi mencari keridhaannya. Dan kau tahu, aku tentu tidak akan asal menjatuhkan pilihan. Rakyat memilih khalifahnya. Aku memilih pemimpinku. Sekali lagi bukan harta. Ini soal jiwa.

Aku selalu mampu mencintai orang dalam jangka panjang, dari jiwanya. Dan aku mencari itu pada seseorang yang akan hadir nanti. Bersamaan dengan itu, kuusahakan diriku agar bisa menjadi seperti yang dia butuhkan. Menjadi asisten dalam kehidupannya. Menjadi wanita dalam hati dan fikirannya. Menjadi seseorang yang bisa diandalkan setiap kali ia menghadapi kebuntuan.  Atas izin Allah.

Ini soal jiwa. Karakter.

Ayahku mengatakan "Jika berjalan dengan orang yang kita sukai jiwanya, kita akan menjadi orang yang tidak terduga. Tiba-tiba saja kita berkembang pesat. Sebab rasa cinta dan cukup kita terhadap jiwanya membuat kita rela dan ikhlas melakukan perjuangan apapun. Jika keduanya saling merasakan kekuatan itu satu sama lain, bisa kamu bayangkan peradaban semacam apa yang akan mereka bangun."

Aku dibesarkan oleh seorang Ayah yang berjiwa besar. Lelaki sederhana namun dengan jiwa yang mewah. Lelaki dengan kemeja biasa, namun dengan visi dan misi besar. Dia lebih menyukai sandal jepit, namun akan menjadi sahabat terbaikku dalam membicarakan soal pembuatan film dan project buku. 

Kau tahu, dulu saat aku berusia 20 tahun, saat duduk di semester 2, aku pulang ke Medan. Saat aku sedang membongkar-bongkar kameraku di ruang keluarga, tiba-tiba Ayah datang dan duduk di sampingku.

"Nak, seandainya ada lelaki yang pekerjaannya seorang sopir, tapi dia sangat santun dan punya pola fikir yang sangat bagus, karakternya bagus, Ayah akan menikahkanmu dengannya. Bahkan sekalipun kamu masih kuliah."

Jantungku berdegup. Tenggorokanku tercekat.

Tanganku berhenti mengotak-atik kamera. Aku sangat faham siapa yang bicara. Seorang Ayah yang sudah melewati segala garam dalam kehidupan. Lelaki yang bisa membuatku langsung percaya pada setiap yang dikatakannya, bahkan sekalipun aku belum membuktikan kebenarannya. Aku otomatis percaya.

"Ayah..." kupandang wajah Ayah. Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Ada rasa takjub, sekaligus takut. Aku sangat mencintai dan menyeganinya.

Dan beberapa waktu sebelum kepergiannya, Ayah memintaku untuk segera menikah. Kujelaskan apa adanya. Bahwa aku belum menemukan yang pas. Dan aku meminta dengan hormat, agar Ayah saja yang mencarikan untukku. Aku ridha. Aku akan menerima siapapun lelakinya. Namun, kau tahu apa yang dilakukan Ayah?

Ayah menaruh tangannya di ubun-ubunku.

"Ayah bisa saja meminta seseorang agar datang ke rumah ini. Tapi anakku, sejak kecil, Ayah sudah mendidikmu. Kau sudah terlalu dewasa untuk sekedar kuatur-atur terkait privasi seperti itu. Kau tahu seperti apa yang kau harapkan. Ayah percaya padamu. Ayah ingin kau menikah dengan lelaki yang kau mau. Dia pasti yang terbaik."

Dialog itu sejatinya sering kudengar di dalam film dan sinetron. Namun saat kualami secara langsung, saat itu dikatakan oleh Ayah, aku seketika merasa lemah lunglai. Kupeluk Ayah. Kurasakan betapa jiwanya telah menyatu dengan jiwaku. Dia selalu membuatku merasa semakin real. Semakin hidup. Semakin dimanusiakan.

Untukmu, menantu Ayahku di masa depan...
Dari kalanganmu, tentu ada wanita yang lebih layak dibanding aku.
Dan begitupun dirimu, telah ada yang lebih awal datang sebelummu.
Namun Allah mengatur kisah kita begini adanya.

Aku tidak tahu siapa dirimu. Entah seorang yang sudah pernah kukenal sebelumnya, atau seseorang yang saat kutulis ini- kita sama sekali belum pernah bertemu. Bagaimana jalan Allah mengenalkan kita, aku tidak tahu. Tapi yang pasti, aku persiapkan diriku agar menjadi orang yang membantu IBUNDAMU TERCINTA untuk membahagiakanmu di dunia dan akhirat.

Barangkali di bumi kita belum diperjumpakan Allah, tapi kita bisa berjumpa di langit terlebih dahulu. Kita naikkan do'a- do'a panjang. Biarkan ia menembusi meteor, menembusi langit, terus meroket tanpa peduli apakah di atas sana ada gravitasi atau tidak, do'a kita tetap saja bertemu di pintu Allah.

Sampai jumpa di langit, Sayyid.
Semoga Allah melindungimu. Mengampuni dosa-dosamu. Merahmati kehidupanmu.
Ditajamkan bathinmu. Ditambah pengetahuanmu. Semoga ridha Tuhanku, ridhamu dan ridha Ibumu berada padaku. Insyaa Allah.




Tertanda, asistenmu, Sofiah Hasan :)

Sabtu, 25 April 2015

Perempuan Buruh Migran: Untold Feeling


There is no place like home.


Mereka meninggalkan rumah tempatnya dibesarkan.
Meninggalkan tanah air yang berisi orang-orang yang katanya peduli, namun tak begitu adanya.
Meninggalkan semua yang dicinta, bertaruh dengan rasa rindu yang pasti akan sangat menyiksa, tanpa tahu, apakah kepulangannya nanti akan membawanya dalam keadaan hidup atau sudah tinggal nama.

Sebelum akhirnya memberanikan diri, menanggung malu yang pasti menggumpal, mereka maju mendaftarkan diri untuk bergabung dalam barisan pahlawan devisa. Tidak serta merta. Mereka pun perang bathin. Semandiri- mandirinya perempuan, aku bersumpah, mereka tetaplah sosok yang kodratnya meminta dilindungi. Barangkali kau melihatnya memakai celana denim dengan rambut diikat dengan cueknya, namun kau tahu betul bahwa Tuhan menciptakannya dengan perangkat yang benar-benar lunak dalam jiwanya. Kodratnya dilindungi, kini ia pergi dengan gagahnya demi kehidupan orang tercintanya tercukupi.

Label yang masyarakat berikan pada buruh migran pun sangat menyudutkan. Dianggap perempuan liar yang sudah bosan hidup di negara sendiri. Dianggap sangat fakir, tidak berpendidikan, sehingga menjadi buruh kasar di negara orang pun tak mengapa.

Saya tidak setuju anggapan itu. Sangat banyak sekali yang harus kita luruskan. Kita harus punya pola fikir yang tidak cenderung menghujat, namun mencari celah solusi, kira-kira kenapa mereka pergi, dan jika mereka terlanjur pergi- sikap heroik seperti apa yang bisa kita berikan?

Kita sejatinya sudah kenyang dengan pemberitaan kekerasan yang dilakukan para majikan mereka di luar negeri sana. Media menyiarkan tentang persoalan-persoalan mereka. Kita tak menyadari kepergian mereka ke luar negeri, namun baru terhenyak saat memandangi foto wajah mereka yang disiari di semua media televisi. Mereka melepuh di rumah sakit. Dianiaya sudah tahunan. Kehidupan yang berat telah mendepresikan jiwanya. Berjuang dengan sengit sementara semua orang memberi tatapan menghina memang adalah nasib yang sangat memuakkan. Kesedihan mereka siapa yang menyelesaikan? Lalu akibatnya lihatlah, kita mendapati kabar mereka melampiaskan segalanya dengan amarah. Mereka bersiteru, akhirnya membunuh.

Kita mengetahui namanya saat ia sudah dieksekusi. Wajahnya familiar di seantero tanah air saat negara sudah gagal memediasi. Prestasi-prestasi mereka nyaris tidak pernah dipublikasikan- atau memang sedari awal kita sudah merasa tidak perlu mengamati kelebihan mereka, karena sudah tenggelam di labeling  buruh migran yang buruk tadi.

Dua tahun lalu saya berkomunikasi dengan teman saya yang kebetulan sedang studi di luar negeri. Mereka memiliki organisasi kekeluargaan warga Indonesia yang tinggal di sana. Sepanjang pembicaraan, saya menangkap nada-nada tidak mengenakkan darinya.

"Dia perempuan baik. Rajin ibadah. Lumayan cantik. Tapi aku nggak mau akrab." katanya.

"Kenapa?"

"Aku kan mahasiswa, dia TKW. Beda. Walaupun sebenarnya aku berniat menjadikannya teman dekat tapi nggak lah. Dia ke sini kan sebagai buruh kasar."

Jawabannya itu benar-benar menghentak. Sangat berhasil membuat saya terbungkam.

Seorang perempuan muda yang terpaksa meninggalkan Indonesia karena harus membiayai adik-adiknya sekolah, agar bisa melunasi hutang-hutang Ayahnya, agar mereka bisa hidup tanpa tatapan mencemooh dari orang, dia meninggalkan negerinya dengan gagahnya, dengan paras cantiknya, namun ia harus tidak dipilih karena ia seorang pekerja. Karena ia ke luar begeri bukan sebagai mahasiswa.

Saya diam cukup lama. Dada terasa sakit. Ini apa-apaan?
Tidak ada yang ambil pusing apakah ia akan menjadikan perempuan itu sebagai orang terdekatnya atau tidak, itu bukan urusan saya. Namun yang mengusik sisi kemanusiaan adalah bagaimana ia melihat bahwa status pekerja di luar negeri itu benar-benar menjadi garis hitam pembatas. Saya tidak bisa membayangkan perempuan tangguh, bercita-cita tinggi namun ia terlahir bukan dari Ayah Ibu yang memiliki uang- lantas disudutkan hanya karena sesuatu yang sebenarnya ia sedang berjuang untuk mengubahnya.

Kekerasan fisik pada mereka, sudah menjadi berita langganan bagi kita. Dan kekerasan psikis tanpa kita sadari, kita saudaranya ini lah yang sudah memberikannya. Kita menatap mereka dengan remeh. Lalu sebenarnya, siapa yang meremehkan siapa? Iya betul, mereka disiksa tubuhnya di sana, lalu kita bagaimana? Kita juga turut andil dalam pembunuhan jiwanya. Pembunuhan harga dirinya. Padahal kita tahu persis, faktor yang mematikan seseorang- yang paling mematikan itu bukan Kanker atau Jantung. Tapi depresi.

Saya berusaha memahami bahwa keputusan mereka mencari nafkah di negeri orang adalah keputusan yang sudah difikirkan, dan itu terjadi pun karena negaranya memang tidak punya cukup solusi untuk selesaikan kepayahan hidupnya. Dan yang selalu menghujat, saya rasa adalah mereka yang barangkali belum berada pada posisi dihimpit persoalan finansial, sehingga tidak benar-benar putus asa untuk mencari jalan keluar.

No place like home.
Sepertimu, mereka pun adalah anak-anak kesayangan Ayah Ibunya.
Namun setelah dewasanya, jalan hidup membeda.
Mereka di mana, engkau di mana.

Kita tahu data-data mereka di arsip pemerintahan. Namun soal jiwa mereka, cerita hidup mereka yang tidak ada mau tahu itu- kita buta. Saat ini jika kita bertekad, kita bisa mengupayakan program-program yang mampu memanusiakan, membahagiakan mereka.

No place like home.
Saya yakin mereka sudah sangat ingin pulang. Namun terlanjur jatuh dalam perjanjian, dan masih berduka sebab entah apa yang bisa dibawa pulang. Atau jangan-jangan ia memilih menetap lama, memperpanjang keberadaan, sebab ia malu karena negaranya seakan tak menatapnya berharga?

---------------------------------------------------------------------------------------------

#Peduliburuhmigran

Minggu, 05 April 2015

Mahkota Cahaya Untuk Ayah



Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Aku sedang dalam proses menghafal Al-Qur'an saat aku mendapat berita dari Medan bahwa Ayah dalam keadaan tak sadarkan diri. Ayah koma. Sehabis zuhur, saat mencoba tidur siang, Ayah tak bangun-bangun lagi. "Segeralah ke Bukittinggi. Rumah sakit akan mengoper Ayah ke sana karena rumah sakit Medan sudah tak sanggup lagi." kata Mama dengan tangis pilu di seberang telepon.

Saat aku mendapat berita itu, langit sudah nyaris senja. Menjelang maghrib. Aku berlari keluar kantor. Airmataku tumpah. Aku berlari mencari taxi dan segera menuju Airport Soekarno-Hatta setelah mampir di kost untuk mengambil beberapa baju.

Sepanjang perjalanan menuju Airport, di dalam taxi, yang kulakukan adalah terus menerus menangis dengan mushaf yang terus kupeluki. Aku teringat ayat-ayat Allah yang memberitakan bahwa setiap manusia pasti akan merasakan mati. Tidak bisa dimaju dan dimundurkan. Seketika hatiku menjerit pilu. Oh Tuhan, aku sudah menghafal ayat itu. Kuatkan aku, sabarkan aku untuk naik kelas, bahwa selain menghafal, aku juga harus mampu menjadikannya sebagai akhlak. Aku harus ikhlas jika itu terjadi pada keluargaku. Rasanya, aku seperti berperang hebat dengan diri sendiri.

Cahaya lampu di dalam taxi yang remang, tidak memungkinkanku untuk tilawah. Dan yang bisa kulakukan adalah memuraja'ah hafalan yang belum seberapa. Dengannya aku berharap Allah akan menenangkan jiwa yang kalut. Memudahkan apa-apa yang sebelumnya sulit. Untuk membunuh waktu, membunuh bisikan-bisikan syaithon yang mewas-wasi hatiku, kuhajar semua hafalan yang kupunyai. Kumuraja'ah semuanya. Keringat dingin menempeli leherku.

Aku sampai di Soekarno-Hatta menjelang satu jam perjalanan. Setelah membayar ongkos, aku yang belum membeli tiket pesawat- segera berlari-lari mencari loket tiket. Saat berlari, kuulangi kembali hafalan-hafalan yang kupunyai. Tiba-tiba saat aku berlari, seorang lelaki berjaket hitam menghampiriku dari arah yang tidak kusangka-sangka.

"Tiket Padang" tawarnya padaku. Diberikannya secarik kertas putih berukuran persegi panjang.
Dalam tangis, aku keheranan. Tidak ada yang tahu bahwa aku akan menuju Padang. Kubayar tiketnya. Dan saat kumasukkan kembali dompetku, aku berjalan menuju kursi untuk istirahat menunggu jam penerbanganku- lelaki itu mengatakan sesuatu yang mengejutkan:

"Mbak, tunggu apalagi. Pesawatmu sudah akan berangkat. Dengarlah, penumpang yang belum check-in sudah dipanggil-panggil." katanya menunjuk pengeras suara agar kudengar.

Aku terkejut bukan main. Belum sampai kudaratkan tubuhku ke kursi itu, segera aku berlari ke pintu keberangkatan. Kuucapkan terima kasih pada lelaki tadi. Yaa Rabb, nikmat-Mu mana lagi yang mampu kudustakan? lirihku bersimbah airmata lagi.

Sesampai di pesawat, aku langsung membuka kembali mushafku. Kutambah hafalanku beberapa ayat. Orang di sampingku memandangku penuh keheranan, kenapa aku membuka dan menutup qur'an dengan mata super bengkak. Dan saat lima ayat sudah kuhafal, tiba-tiba aku mengantuk luar biasa. Aku tidur dengan mushaf di dadaku. Tiba-tiba sebuah tangan memegang pundakku. Tangan seorang Ibu di sampingku.

"Kita sudah mendarat, Dek." katanya mengejutkanku. Kulempari pandanganku ke sekeliling. Penumpang lain sudah mulai merapikan barang-barangnya. Pesawat mendarat. Aku bengong luar biasa. Yaa Tuhanku, aku bahkan merasa baru 10 menit aku tertidur.

Aku sampai di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi, Ayah yang awalnya berada di UGD, dipindahkan ke ruangan khusus di ICU. Semua keluarga berkumpul. Kondisi Ayah terus menurun. Jantung dan nadinya melemah. Kata dokter, pembuluh darahnya pecah di bagian otak.

Malam itu, aku dengan ransel dan jaket tebal, meringkuk lemah di depan kamar Ayah. Tiba-tiba semua ayat-ayat yang kuhafal terpampang jelas di depan mataku. Semua terjemahannya tergambar jelas di hadapanku. Bahwa milik Allah semua apa yang ada di langit dan bumi, apa yang ada di antara keduanya. Allah hanya memberikan cobaan sesuai kemampuan hamba-Nya. Bahwa setelah dunia, ada kehidupan akhirat yang abadi. Dan bagi yang beriman, tidak akan ada rasa sedih baginya. Sebab ia meyakini hari pembalasan, sebab ia yakin bahwa ada surga yang bertingkat-tingkat.

"Di atas menghafal, ada maqam yang lebih utama, Sofiah. Yaitu mengamalkan. Kau yakin pada apa yang dikatakan Tuhanmu, kan? Atau kau hanya penghafal abal-abal yang hanya mau dibilang hafizhah tapi tak siap meyakininya?" kugertak diriku sendiri. Kumaki keimananku yang lemah.

Saat jam besuk tiba, aku diizinkan Mama untuk membesuk terlebih dahulu. Kedekatanku dengan Ayah, keakrabanku dengan Ayah, membuat Mama tahu betul bahwa aku sangat terpukul atas musibah itu. Dan saat kumasuki ruang ICU tempat Ayah dirawat, lututku lemas.

Seorang lelaki yang sangat kucintai, yang kemarin-kemarin masih ceria menghabiskan pulsa untuk mengobrol denganku lewat telepon. Aku berlari memeluk Ayah. Kukatakan betapa aku ingin mengganti posisinya jika Allah izinkan. Di tengah-tengah kerapuhan itu, kuletakkan mushafku di samping kanan Ayah.

"Ayah, dengarkan Ayah. Aku bacakan surah Luqmaan untuk Ayah. Surah tentang Ayah terbaik, kubaca untukmu wahai Ayah terbaik." kutahan airmata yang akhirnya jatuh bertumpahan.

"Alif laaam miiim. Tilka aayaatul kitaabil hakiim. Hudan wa rahmatul lil muhsiniin..." kumuraja'ah hafalanku dengan mata tertutup. Kuresapi setiap huruf yang kulisani. Kugenggam tangan Ayah. Dan saat hafalanku sampai pada ayat terakhir, tenggorokanku tercekat. Aku tak kuat. Tangisku pecah lagi, kupeluk Ayah. Aku berada pada posisi "Aku memang adalah seorang anak, namun aku juga tak boleh lupa bahwa aku dan Ayahku hanya HAMBA."

"Ayah, terima kasih untuk segala kemurahan jiwa Ayah selama mendidikku, membesarkan dan memuliakanku di depan dan belakangku. Terima kasih sudah sabar atas semua kekuranganku. Maafkan atas hak-hakmu yang belum semua kuberikan. Ayah, demi Allah dan Rasulullah, aku mencintaimu. Aku ridha padamu, hanya kesaksian baik tentangmu yang akan Ayah dapati dariku di hadapan Allah nanti. Ayah, aku akan menjadi muslimah seperti yang Allah minta agar hanya kebaikan yang engkau terima nanti..." tangisku semakin tumpah. Kupeluki Ayah dengan hati yang semakin hancur.

Kumuraja'ah kembali hafalanku. Aku sadar betul, hanya itu kekuatanku. Dan saat beberapa ayat keluar dari lisanku, kudapati hal mengejutkan.

Ayah yang dalam kondisi koma, meneteskan airmata.

Aku berteriak memanggil dokter dan suster, kukatakan bahwa Ayahku sudah sadar. Saat mereka semua datang memenuhi ruangan, diperiksa semua peralatan medis yang menempeli di tubuh Ayah, dan katanya Ayah belum sadar.

"Mbak, baca terus ayatnya. Insya Allah bapak mendengar." kata dokter padaku. Semua mata memandangku. Aku merasa jiwaku terhempas. Kumuraja'ah kembali hafalanku, sambil terus-terusan mencium pipi Ayah.

"Ayah dengarkah aku muraja'ah? Ini untukmu, Ayah. Untukmu, Ayah. Untukmu. Semoga Allah ridha padamu dan padaku.." ucapku sangat getir.

Jam besuk habis. Aku bisikkan pada Ayah bahwa aku pamit sebentar untuk mengadukan segalanya pada Allah. Di mushalla rumah sakit itu, aku bersujud habis-habisan. Kutambahi hafalanku di saat-saat menyakitkan itu. Kuminta petunjuk pada Allah, jika Allah memang ridha pada Ayahku, jika Allah akan menghusnul-khatimahkan Ayah, tolong aku diberi tanda. Aku ingin diberikan gambaran bahwa memang Tuhanku ridha jika memang Ayah akan dijemput-Nya.

Dan waktu itu, saat aku sedang tilawah untuk menambah hafalan, di hari Jum'at, dokter memanggil kami semua. Ayah kritis. Aku tahu ilmu talqin, tapi rasanya hatiku hancur saat akan melakukannya pada Ayah tercintaku. Dengan keringat di dahinya, Ayah pergi meninggalkan kami. Dalam duka yang mendalam, hati berkeping-keping, kutemukan tanda husnul khatimah yang kuminta pada Allah. Ayah wafat di hari Jum'at dengan dahi berkeringat.

Hafalanku belum selesai saat kisah ini kutulis. Aku masih dalam proses. Namun di nisan Ayah, aku mengatakan Insyaa Allaah tidak lama lagi aku akan datang mengaji tanpa melihat mushaf di makamnya. Aku akan hafalkan Al-Qur'an.

Jika ada yang bertanya begini padaku "Menghafal harus karena Allah. Bukan karena agar Orangtua masuk surga. Bukan karena anak ingin orangtuanya diberikan mahkota cahaya."

Maka, dengarkanlah jawabanku untuk siapa pun yang komentarnya kurang baik pada penghafal qur'an.

"Kami sedang melakukan apa yang dicintai Allah. Hanya dengan melakukan yang dicintai-Nya lah, ridha itu diberikan. Jangan salah mengartikan ridha. Untuk mendapatkan ridha, kau harus serius melakukan amalan shalih. Pemilik Surga dan Neraka adalah Allah. Pemilik Mahkota dan Jubah Cahaya itu adalah Allah. Terang saja, kami memintanya pada yang punya. Memangnya mau pada siapa lagi?"

Sahabat-sahabatku yang mencintai Ayah Ibunya karena Allah, berjuanglah menghafal qur'an. Jangan takut soal niat. Justru jika kalian berhenti menghafal hanya karena menunggu niat lurus dulu (padahal niat lurus itu bisa diproses dan soal ajal siapa yang tahu) justru kalian sedang riya. Karena meninggalkan amalan shalih hanya karena takut dinilai buruk oleh manusia.

Lakukan saja. Minta pada Allah segala yang kau butuh.
Jika mereka yang sudah wafat dibangkitkan, salah satu hal yang ingin mereka lakukan adalah menjadi ahlul qur'an. Kita yang masih hidup, kenapa berleha-leha? Kenapa menghanguskan kesempatan?

Hafalan yang masih belum sempurna ini tentu saja tak sanggup membeli Surga-Mu, Tuhanku.
Namun dengannya, kuharapi ridha-Mu. Sebab hanya yang Engkau ridhai saja yang boleh memasuki Surga. Tuhanku, satu hal yang membuatku masih betah di dunia fana ini adalah sebab cita-citaku menjadi hafizhah belum kudapati. Aku tahu ajal tak mampu dimajukan dan diakhirkan. Namun akulah manusia yang banyak maunya. Jika yang kuminta baik bagi akhiratku, tolong yaa Allah, hanya wafatkan aku setelah 30 juz itu bertengger kuat di dadaku.

Agar semakin tundukku. Semakin merasa hinanya aku di hadapan-Mu.

Minggu, 21 Desember 2014

Surat Dari Ummi, Untuk Putriku Khadijah.

  


Jakarta Selatan, 21 Desember 2014
Di depan PC, Sambil mendengarkan lagu "Kekasih Allah" dari Youtube.

Teruntuk Putriku yang akan Allaah anugerahkan untukku di masa depan, Khadijah.
Gadis yang dengan segala kelebihan dan kekuranganmu, Allaah dan Rasul muliakanmu. Dijaga kehormatanmu dengan syari'at islaam. Untukmu wahai Putri kesayangan Suamiku, Khadijah. Gadis cerdas yang di belahan bumi manapun engkau diperjalankan Tuhanmu, semoga engkau tidak merusak nama baik Abimu.

Khadijahku, nama kita adalah sama-sama nama isteri Rasulullaah ShallAllaahu 'alaihi wa sallam.
Rasul memiliki seorang isteri bernama Sofiah, wanita yang berlatarbelakang keluarga Yahudi, namun setelah menjadi Isteri Rasul dan resmi bergelar Ummul Mu'miniin, ia tampil menjadi isteri yang sangat disayang Rasul. Namun putriku, siapa yang bisa menggeser kedudukan Khadijah radhiyAllaahu 'anhaa? Tidak ada. Tidak 'Aisyah sekalipun. Khadijah satu-satunya Ummul mu'miniin yang menyebabkan Jibril turun dari langit untuk menyampaikan salam cinta dari Allaah untuknya. Perjuangannya membuat 'Arsy bergetar.

Khadijah, saat ini Ummi sedang bersiap untuk ujian besok hingga dua minggu ke depan. Pertengahan Januari hingga akhir, Ummi akan menyelesaikan sebuah buku tentang perjalanan menemukan Allaah. Di buku sebelumnya, #Astronoslimah, Ummi masih sungkan menulis segala perjalanan Ummi di sana. Ummi bukan tipe wanita yang suka menceritakan segala rahasia. Namun setelah Ummi fikir-fikir, tidak ada salahnya semua dituliskan secara gamblang, sebab Ummi tidak akan pernah tahu, episode mana yang akan menjadi jalan hidayah bagi orang yang membacanya nanti.

Putriku Khadijah, usia Ummi sekarang 24 tahun. Baru saja rasanya Ummi berusia 20 tahun. Begitu cepat waktu berjalan. Meninggalkan sesal panjang sebab belum banyak amal yang dilakukan. Perjalanan kehidupan masih sangat panjang dan berliku, Ummi mohon pertolongan Allaah agar memampukan.

Kau tahu Khadijah, saat Ummi menulis ini, belum ada hadir Abimu di sini.
Abimu sedang diperjalankan Allaah di atas jalan lurus, Insyaa Allaah.
Siapa dia, Ummi tidak tahu. Yang Ummi yakin, Abimu adalah lelaki yang tidak akan sungkan menangis merunduk di hadapan Rabbnya.

Ummi tidak berfikir bahwa ia belum mampu menjemput Ummi, justru yang selalu Ummi fikirkan adalah masih ada yang jauh lebih penting ia lakukan sebelum datang kemari. Ummi sudah ridha jika ia lebih memilih memperbaiki hubungannya dengan Allaah dibanding bergegas menjalin hubungan halal dengan Ummi. Khadijah, bahkan sebelum Ummi memiliki Abimu, Ummi sudah sangat belajar melepaskannya untuk Allaah.

Khadijah, Ummi adalah wanita yang sangat banyak kekurangan.
Belajar agama secara benar saja belum genap 3 tahun. Maafkan kenyataan bahwa engkau tidak lahir dari Ibu yang sejak kecil berhijab syar'i. Jika nanti kau mendapati Abimu adalah seorang lelaki shalih, tahu banyak hal tentang Islaam, berlatar belakang pendidikan Islam yang baik, maka ketahuilah Khadijah, itu semua adalah karunia Allaah untuk Ummi. Allaah sandingkan wanita yang sangat faqir ilmu ini dengan lelaki shalih. Maka pesan untukmu wahai Khadijah, hormatilah Abimu melebihi hormatmu padaku.

Rasul memintamu untuk tiga kali lebih memprioritaskan Ummi dibanding Abimu. Namun dengarlah perintahku, Putriku, jangan pernah tinggalkan Abimu untukku, saat ia membutuhkanmu. Kau diwajibkan berbakti padaku, namun Ummi pun wajib berbakti pada Abimu. Di telapak kakiku ada Surgamu, Putriku. Namun pada Abimu ada Surgaku. Jangan sekali-kali kau meninggalkannya sebelum mencium tangannya. Berusahalah untuk menahan suara, saat Abimu sedang bermunajat pada Tuhannya. Saat ia sedang berfikir keras tentang pekerjaannya.

Khadijah, ada banyak surat yang Ummi tuliskan untukmu di Laptop. Sedikit demi sedikit, engkau akan tahu apa yang Ummi alami di banyak waktu. Tentang Ayah Tercintaku, yang hidupnya adalah hidupku, dipanggil Allaah di bulan April lalu. Di Bukittinggi, Khadijah, Ummi tersungkur, bersujud pada Allaah di ruang ICU. Betapa harus siap ikhlas jiwa ini menerima ketidak-berdayaan diri. Ajal adalah janji yang pasti. Dan Ummi menyaksikan itu terjadi pada Kakekmu yang sangat penyayang. Kau tahu Khadijah, Kakekmu satu-satunya lelaki yang menyerahkan segala sisi kehidupannya demi hidupku. Jauh sebelum Abimu datang, Kakekmu selalu menanyakannya. Kakekmu merindukan sosok menantu di sampingnya.

Saat ini Putriku, tidak ada yang paling Ummi harapkan melebihi hadirmu dan Abimu menemani Ummi berdo'a penuh kekhusyu'an di nisan Kakekmu. Membawa menantu shalih dan cucu yang suci padanya adalah hal yang akan sangat membahagiakanku.

Khadijah, Ummi sedang belajar agar mampu menjadi pendamping terbaik untuk Abimu, dan menjadi Ummi yang baik bagimu. Tidak ada daya upaya selain apa-apa yang Allaah pertolongkan. Kutitipkan Engkau dan Abimu kepada Allaah. Sebaik-baik tempat berserah diri. Tidak akan ada aniaya untuk kita, Insyaa Allaah.

Ummi tidak tahu, apakah engkau akan membaca tulisan ini di dunia atau di Surga.
Atau apakah nanti saat kau membaca ini, masih adakah Ummi di dunia ini atau sudah berpulang pada Allaah.
Namun yang pasti Khadijah, bahkan jauh sebelum Abimu datang, Ummi sudah sangat merindukanmu.
Shalihah lah di dalam dan di luar, Putriku.
Jangan pernah jatuhkan wibawa Abimu.

Jam 07:15 WIB
Dari Ummi, yang semoga dalam tatapan cintanya Allaahu ta'aalaa.









Rabu, 05 November 2014

IstiQomahlah, Cinta


 





Lengangnya barokah merusak jiwa
Hingga dalam pemusafiran, Allah obatkannya
Aku mendapatimu berdiri di sisi rumah Allaah itu, ‘Abdullaah
Rasanya bagai terseret jauh ke dalam Jannah

Tiada kesempurnaan dalam diriku
Sebab dosa masih berayun padaku
Aku tahu hidayah dari kitab dan guruku
Namun meledaknya haru sejak kehadiranmu

Aku diam membisu akan rasaku, ‘Abdullaah
Padamu, aku menahan bicara
BBM dan WhatsApp tak bekerja
Bagiku, do’a adalah ruang temu kita

Fathimah Az-Zahra menularkan ibroh
Bahwa kasih tak boleh sembrono
Bukan pada tawa dan temu yang jadikannya kokoh

Sampai detik kutulis ini dengan haru
Aku bahagia karena tak terjebak nafsu denganmu
Tegasku jadi pelindung agar engkau tiada terayu

Ini pilihanku
Dengan beginilah, Abdullaah, jiwa ini memuliakanmu
Dengan tidak membuatmu berangan tentangku

Tenanglah wahai hatiku..
Imani teruslah janji Rabbmu
 
Istiqomahlah, Cinta
Takkan kubawa engkau kemana-mana selain ke Jannah

[Di Bandung, 15 Oktober 2013, puisi ini dapet penghargaan dari UNPAD Bandung (bingung, bagusnya dimana ya? ^^ ) Akhirnya atas permintaan para adik-adik kost, file lama ini diposting. Semoga manfaat.] 

Rabu, 18 Desember 2013

Menjahit Iman

                                                           

Jakarta, Shafar 1435 Hijriyyah

Kejadian ini terjadi di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat.
Sejak aku mendaftarkan diri sebagai pasien jam 09.30 tadi, Alhamdulillaah aku harus melatih kesabaran di ruang tunggu. Sudah hampir 10 nama pasien yang dipanggil masuk ke ruang dokter, aku belum jua melihat tanda-tanda kalau giliranku sudah dekat.

Kepalaku mulai terasa semakin nyeri, Mahasuci Allaah yang memang kepala ini adalah hak-Nya. Mungkin ini harus kualami, sebab beberapa dosa yang terlanjur dilakukan- tidak mampu dihapus dengan istighfar dan shalat saja, mungkin harus ditebus dengan rasa sakit supaya lunas. Hehe benar-benar kabar penghibur.
Kalau saja anak manusia tahu bahwa dalam rasa sakit yang Allaah berikan- terdapat banyak keutamaan di dalamnya, mungkin mereka akan meminta rasa sakit seumur hidupnya. Hmm...

Aku membunuh rasa bosan di ruang tunggu dengan membaca beberapa artikel di situs Republika. Mataku tertuju pada sebuah judul; "Wanita yang Tertipu". Menarik sekali, bathinku. Dan aku mulai membaca keseluruhannya. Perlahan, secara berangsur, ada yang bergelitik di hatiku. Alurnya yang sederhana namun mampu menyampaikan pesan yang amat besar.

Tahukah engkau saudariku, rupanya dalam artikel yang bagus ini- aku tahu siapa salah satu wanita yang tertipu itu. Bukan wanita yang hartanya dilarikan oleh oranglain, Wanita yang kalung atau permata yang dibelinya ternyata adalah imitasi- dan bukan pula wanita yang ditipui oleh pasangannya. Bukan itu.

Wanita yang tertipu itu ialah wanita yang merasa bahwa ia sudah hebat, lalu melihat suaminya sebagai sosok yang berada di 'bawahnya' dan ia merasa begitu malas melakukan kewajibannya sebagai isteri disebabkan penilaiannya tentang pendampingnya yang tidak sepadan dengannya. Astaghfirullaah..

Tampak sederhana. Namun sungguh, bagiku ini sangat krusial. Sangat spesifik pembahasannya.
Berkali-kali aku mengucap syukur kepada Allaah karena mentakdirkanku menunggu lama di ruang tunggu untuk kemudian membaca artikel ini. Begitu banyak wanita yang diberikan Allaah nikmat yang banyak, diberikan Allaah kemampuan yang sesungguhnya hanyalah pinjaman semata. Lalu kemudian ia jadikan pinjaman itu untuk menindas oranglain, parahnya adalah Suaminya sendiri. Lalu, akan kemana wanita kufur itu dibuang, jika jalan menuju Surga-nya saja sudah dilukainya?

Wanita yang memiliki karier, memiliki uang dan pertemanan yang luas- sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding memiliki keluarga yang di dalamnya Asmaa Allaahu ta'aalaa diperdengarkan. Tidak ada manfaatnya wanita memiliki jenjang pendidikan yang memukau, jika dengan sengaja dan tanpa beban- ia merobek hati suaminya.

Jangan berfikir bahwa kesuksesan akan mengundang ridha Allaah. Apakah engkau fikir, mentang-mentang engkau memiliki karier lebih baik, lantas maqam-mu di hadapan Allaah jauh lebih tinggi dibanding suamimu? Jangan-jangan selama ini, Suamimu yang engkau anggap 'biasa' itu menjadi kecintaan Allaah, sebab ketawadhuannya? Tidak sepertimu yang tidak terlalu hebat, namun sangat mengangkuhkan hati?

Sikap kita adalah efek keimanan kita. Semoga kita tidak melihat terlalu lama, tidak mempermasalahkan terlalu rumit- tentang apa yang belum dimiliki Suami kita kelak. Sebab diri kitapun tidaklah begitu bagus amalannya. Bersyukurlah atas kehadirannya yang sudah menyelamatkanmu dari fitnah saat masa kesendirianmu, bersyukurlah sebab ia membentengimu dari jilatan api neraka. Dan kemudian bersabarlah atas apa yang kita lihat kurang darinya, nikmati saja- sebab itu pertanda kehadiranmu memang penting untuknya. Untuk melengkapinya. Subhaanallaah.

"Nona Siti Sofiah......" seseorang memanggil namaku. Aku terkejut.
"Silahkan.." suara itu melanjutkan panggilannya. Seorang suster berseragam putih, dengan kertas-kertas panjang di tangannya. Aku mengaangguk, sambil memasuki ruang dokter, aku menyimpan ponselku kembali ke dalam tas.

"Salaam'alaikum.." aku mengetuk pintu.
"Wa'alaikumussalaam.." suara pria !
Aku membuka pintu dengan ragu, seorang lelaki muda- duduk di balik meja.
"Silahkan, Mbak Siti, ya?" tanyanya- sambil menatap kertas di mejanya. Itu pasti kertas identitas pasien milikku. Aku mengangguk pelan.

 Aku masih berdiri dengan penuh kekalutan. Suster menghampiriku dari belakang. "Kenapa, Mba?" tanyanya heran. Kututup sedikit pintu ruang dokter- agar dokter itu tidak melihat.
"Aku mau dokter perempuan, Sus..." bisikku ke telinganya.
Suster tampak terkejut. Lalu kemudian menggeleng.
"Semua dokter disini pasiennya antri, Mba. Dokter Inne sedang istirahat. Memangnya kenapa? Udah, masuk saja.." katanya sambil pelan-pelan mendorongku untuk masuk.

Tiba-tiba pintu dibuka. Dokter itu menatap kami.
"Maaf, ada apa?" tanyanya.
Belum sempat aku mengeluarkan sepatah dua kata, Suster itu memegang bahuku- lalu kemudian membimbingku ke dalam ruangan.

"Ada keluhan sakit apa, Mba Siti?" tanya Dokter, yang kemudian aku tahu namanya dokter Rasyid.
"Sakit kepala, Dok.." jawabku.
Suster beranjak meninggalkan kami, aku mulai gelagapan.
"Bisa diceritakan lebih rinci?" pinta Dokter Rasyid.
Aku mengangguk. Kuceritakan bagaimana akhir-akhir ini kepalaku terasa selalu nyeri. Saat belajar, ada denyutan di kepala bagian kiri, dan mendadak selera makan hilang. Makanan yang biasanya menjadi favoritku, tampak tidak menggugah selera. Dan Ayah- lewat telefon- ia memaksaku untuk segera berobat.

"Silahkan berbaring, saya periksa dulu.." katanya menunjuk tempat tidur di sampingku. Astaghfirullaah, aku merasa ingin kabur saja. Aku berharap si Suster tiba-tiba masuk ruangan.
"Aku duduk saja.." tawarku pada Dokter.
"Kenapa? Saya mau periksa denyut jantung dan kelopak mata Mba Siti" katanya lumayan gusar.
Aku menggeleng, mungkin dengan mimik wajah sedikit mengiba.
"Saya diperiksa sambil duduk saja, Dokter. Insyaa Allaah bisa kok" kataku.
Dan Dokter Rasyid melakukannya.

"Bisa buka jilbabnya?"
APAA???

"Saya mau lihat efek sakit kepala yang Mba rasakan. Apakah ada kerontokan rambut, atau kulit kepala berwarna kemerahan" katanya pelan.

Refleks tanganku memegang kerudungku bagian depan, seakan menahannya.
"Aku enggak bisa" jawabku, dengan menahan amarah. Aku benar-benar tersinggung.

"Kenapa? Saya mau mengobati pasien saya, Mba datang kesini untuk berobat kan?" katanya dengan nada yang meninggi. Aku menunduk, suasana terasa sangat menyudutkan.

"Saya enggak bisa, Dok. Semuanya baik-baik saja, saya hanya sakit kepala biasa" kataku.
"Kalau sakit kepala biasa, kenapa berobat ke rumah sakit besar?" tanyanya, mencoba menjauhiku.
Astaghfirullaah, rasanya seperti adegan sinetron.

"Saya muslimah, Dok. Saya dikasih resep obat saja" tawarku, mencoba tampak tidak menjengkelkan.
Dokter Rasyid berjalan menuju kursinya, dan duduk sambil mengambil kertas putih di lacinya.
Selama hampir 5 menit lebih dia tidak bersuara. Kertas kosong di tangannya sudah penuh dengan tulisan. Dalam hati, aku meminta Allaah menguatkan. Apakah aku terlampau keras? Apakah aku terlalu idealis dan sok alim? Bukan, bukan itu. Aku hanya tidak mau setelah pulang dari rumah sakit ini, aku menyesal seumur hidup.

"Saya mau tanya satu hal.." Dokter Rasyid buka suara.
"Iya, Dok..." sahutku.

"Apakah Allah melarang membuka jilbab jika untuk pengobatan? Maaf ya, saya juga seorang Muslim, dan insyaa Allah tahu agama. Saya menghargai prinsip Mba yang tidak mau membuka jilbab, tapi apakah ini tepat? Bagaimana saya bisa kasih resep jika keadaan Mba yang sebenarnya saja saya tidak faham?"

Aku diam. Berharap ia tidak memaksaku menjawab.

"Mba Siti, saya juga seorang Muslim. Saya pemuda 27 tahun yang juga sering mengaji di majelis. Silahkan kalau tetap bersiteguh pada prinsip Mba, tapi maafkan saya karena saya tidak bisa mendiagnosis apa penyakit Mba dan saya tidak bisa kasih resep obat. Karena saya tidak bisa memeriksa Mba dengan maksimal" lanjutnya.

Aku mengangguk faham.
"Baik, kalau begitu, apa sudah selesai? Saya pamit..." ujarku, seraya merapikan tas di sampingku.

"Siapa yang menemani Mba Siti kemari?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Sendiri, Dok"
"Sudah menikah?" tanyaya.
Aku kembali menggeleng. "Makasih, Dok. Permisi" aku benar-benar memberanikan diri untuk meninggalkan ruangannya. Ada rasa malu dan takut yang mnengaduk-aduk. Aku mantapkan langkah untuk keluar dari lobby Poli Penyakit Dalam.

Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
"Mba, jangan makan cokelat, keju dan garam terlalu banyak" Dokter Rasyid mengatakannya, sambil berdiri di depan pintu ruangannya. Aku mengangguk, mengucapkan terimakasih dengan pelan- mungkin ia tidak bisa mendengarnya.

Sepanjang perjalanan keluar rumah sakit, aku mencegat angkot menuju kostanku. Dalam perjalanan menuju kost, kutelfon Mama.
"Gimana periksanya, Nak?" tanya Mama langsung.
"Kata Dokternya, fiah enggak boleh makan cokelat, keju dan garam terlalu banyak, Mama"
"Nah itu, dipatuhi ya Nak. Harus disiplin. Trus kata Dokternya, kamu sakit apa?"
Aku terdiam. Aku harus bilang apa ya?

"Sakit kepala ajah, Ma.." jawabku.
"Dokternya bilang apa ajah?" desak Mama.
Aku putuskan untuk menceritakan kejadiannya.
Mama mendengar- sesekali terdengar suara nafas berat.

Setelah berdiskusi hampir selama 10 menit, Mama memaksaku untuk mencari dokter lain untuk periksa. Mencari dokter perempuan seperti yang aku inginkan.

Ini pengalaman yang mungkin akan terjadi berkali-kali lagi di masa mendatang. Ini banyak dialami banyak pasien. Dan  kebetulan itu Allaah mentakdirkanku mengalaminya barusan. Tidak ada maksud untuk memposisikan diri sebagai orang yang baik- sama sekali bukan. Justru saking belum baiknya aku- makanya aku harus mengikuti keburukan yang kulakukan dengan kebaikan.

Kalaupun membuka jilbab untuk pengobatan ini diperbolehkan- aku dengan tegas menolak selagi aku mampu untuk menghindar. Karena bukan apa-apa, sepulang dari rumah sakit itu, jika aku jadi membuka jilbab, maka aku akan menyesal seumur hidup.

Tidak peduli sudah berapa uang pendaftaran pasien dan biaya konsultasi dokter yang dibayarkan, soal uang bisa diusahakan. Terpenting adalah prinsip yang tidak bisa dijual. IMAN yang sedikit ini harus diperjuangkan.
Aku bermimpi memiliki anak-anak yang shalih dan shalihah.
Aku bermimpi kelak aku ingin putera-puteriku tidak berpaling dari Islaam meski pedang sudah berada di leher mereka. Makanya, aku harus memulainya dari diriku sendiri. Aku tidak boleh melakukan hal yang menjatuhkan maruahku sedikitpun.

Kulakukan ini karena-Mu wahai Allaah.
Berikanlah kabar baik untuk putera-puteriku kelak, bahwa sejak masih gadis- Ummi mereka berjuang melawan dunia- dengan mati-matian :)








Kamis, 19 September 2013

Hijab Cinta :)

                            

Beberapa bulan lalu..
Sahabat dari Komunitas Penulis Skenario mengadakan pertemuan. Mereka menyebutnya kopi darat. Awalnya aku mengatakan bahwa aku tidak bisa bergabung bersama lelaki- apalagi itu hanya untuk sekedar berbincang dan makan bersama. Mereka memaklumi dan menjanjikan meja untuk wanita dan pria akan dipisah. "Berjarak 100 meter kalau memungkinkan.." kelakar Susi padaku.

Hari pertemuan itu sudah fix. Tanggal 26 Maret 2013, ba'da Zhuhur di sebuah cafe toko buku Gramedia.
Sejak jam 10 pagi, aku sudah menyiapkan segalanya. Mulai dari gamis dan jilbab yang akan kupakai. Berwarna hitam- dan kugantung manis di belakang pintu kamar. Beberapa buku sudah aku masukkan ke dalam tas yang akan kubawa nanti. Dua kotak makanan sudah kusiapkan. Isinya bolu cokelat dan Rissol daging yang kubeli di toko kue samping kampus. Aku sudah siapkan semuanya, InsyaaAllaah.

Adzan Shalat Zhuhur berkumandang.
Aku bergegas menemui Rabbul 'izzati. Sang Maha Pemberi segala pinta.
Selepas shalat, aku merasa kantuk yang lumayan berat. Aku mencoba melawannya karena sebentar lagi akan berangkat ke Gramedia. Aku bangkit dari tempat shalat menuju kamar mandi. Aku kembali berwudhu- lumayan segar kembali. Kurang dari 5 menit, aku mengantuk lagi. Kulihat jam di bagian atas layar handphoneku. Jam 12:15 WIB.

Aku memutuskan untuk tidur sebentar. Kusetting alarm 12:40 WIB. Dengan harapan, aku sudah berangkat dari kost sekitar jam 13.00 WIB. Itu prediksi yang bagus, menurutku. Aku benar-benar tidur.

Kejadiaan yang sangat membekas itu pun dimulai...

Ya, aku benar-benar tidur Kebablasan !
Saat aku bangun, Jam menunjukkan pukul 15.20 WIB. Hampir setengah empat sore !
Aku mendapati diriku dalam keadaan terkejut dan berkali-kali istighfar. Aku merasa takut memegang handphone, disana pasti sudah puluhan atau ratusan Missed Calls dan Messages. Aku panik dan pasrah.

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar...

Astaghfirullaahal 'aadzhiim...
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Dalam kepanikan itu, aku berusaha menjawab Adzan- berharap akan ada keajaiban. Aku memberanikan diri menyentuh Handphone, dan Tarraaaaaaaa 34 Missed Calls dan 16 Messages ! Aku merasa ngeri ! Ampuni Aku yaa Allaah. Ini mengerikan.

Isi messagesnya adalah pertanyaan apakah aku sudah berangkat dari kost. Lalu mereka bertanya sudah di mana posisiku, kenapa aku tidak membalas sms mereka, kenapa aku tidak kunjung datang- dan terakhir "Kamu mengingkari janji, Sofie..."

Aku lemas sekali.
Aku mencoba menelfon Susi. Saat detik pertama telfonku diangkat, aku mendengar suaranya langsung berteriak. "Kamu dimana sih, Sof? Acaranya sudah selesai. Kamu gimana sih" Susi mencoba menahan amarahnya- namun aku faham bahwa ia sangat marah.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku harus menghadapinya. Ini salahku. Aku nekad tidur, padahal itu adalah detik-detik keberangkatanku ke Gramedia, harusnya. Oh Tuhaan, ini tidak mudah.

"Aku ketiduran, Susi.." jawabku merasa bodoh.

"Apa? kamu tidur jam berapa? Baru bangun?" Suaranya masih tinggi.

"Ba'da Zhuhur tadi aku ngantuk. Aku pasang alarm tapi aku tidak mendengarnya berbunyi. Ini baru bangun"

"Yaa Allaah Sofiiii, lagian tidur kok jam segitu. Bukannya kamu tahu kalau kita ngumpulnya jam segituan?"

"Aku tahu, tapi tadi ngantuk banget. Enggak biasanya seperti itu. Aku minta maaf, Susi. Aku sayang kamu" Aku mengatakannya cepat- dan aku menggombalnya. Hehe just kidding.

"Sofii...sofiii..iyaa kita juga sayang kamu. Makanya jadi ngomel begini. Kamu nggak tahu sih gimana perjuangannya" katanya melembut.

"Perjuangannya? Siapa?"

"Ini ya, aku kasih tahu. Sebenernya kita adain pertemuan ini buat mengenalkan Mas Satrio sama kamu. Itu yang Cameraman ANTV. Kita sepakat mau comblangin kamu sama dia. Eh malah kamunya yang enggak datang. Bikin kesal banget sih"

Aku terdiam lama.

"Sof..." panggil Susi.

"Iya, Sus?"

"Kamu enggak sengaja kan buat enggak datang?"

"Aku beneran tidur, Susi"

"Hm...mungkin ini pertanda kalau Allah enggak mau kamu dekat sama Satrio ya"

Aku tersenyum. "Iya mungkin, Susi.."

*******


Selang seminggu setelah itu, tepatnya 02 April 2013..
Hari selasa itu aku berkunjung ke Daarul Qur'an, Tangerang.
Sesampai disana- saat aku sedang makan bersama beberapa Asaatidzah, sebuah pesan masuk. Dari seorang senior di pengajian. Isi pesannya mengejutkanku.

"Salam yaa Ukhti. Anti apa kabar? Afwan, anti benar sudah siap menikah? Ummi Nadia mau ngasih biodata ikhwan dari Palembang untuk Ukhti. Jazakillah. Mhn bls"

Mendadak selera makanku berangsur hilang.
Ada yang terasa sakit di ujung hatiku.
Aku menyadari bahwa aku sudah mengatakan bahwa aku siap untuk menikah di Jalan Allaah, namun kenapa mendadak aku merasa tidak berani? Aku menyelesaikan makanku dan masuk ke kamar penginapan. Di kamar itu, aku mohon petunjuk Allaah. Dalam panjatan do'a, aku tidak kuasa menahan tangis. Apa yang terjadi padaku wahai Allaah? Kenapa aku merasa tidak siap dan tidak berminat? Apa ini godaan syaithon yang hendak menghalang-halangi pernikahan? Atau memang karena ada alasan lain...

Aku memaksakan diriku untuk membalas SMS dari Kakak seniorku itu.

"Wa 'alaikumussalaam wa rahmatullaahi wa barakaatuhu, Ukhti Yush. Afwan lama balasnya, Ukh. InsyaaAllaah aku akan maju. Lillaah"

Iya ! Aku harus melawan syaithon ! Aku mencoba tidak mempedulikan suara hatiku yang entah kenapa terasa begitu halus melukaiku. Aku akan paksa diriku untuk melakukan ini karena Allaah. Tidak memandang siapapun yang datang padaku.

Aku menghadap kiblat. Memohon ampun dan petujunjuk untuk keputusan besar yang telah aku lakukan.
Wahai Allaah, Engkau fahamkan isi hati ini. Namun demi mengejar gelar Taqwa, aku harus meretas rasa suka tidak suka, rasa nyaman dan tidak nyaman. Aku harus patuh karenaMu. Bukan karena mauku.

Tiba-tiba hanpdhoneku bergetar. SMS masuk. Dari Ukhti Yush.

"Afwan, Ukhti Sofi. Kenapa sms ana belum dibalas?"

Aku terkejut. Belum dibalas? Padahal sudah terkirim.
Aku mengecek kembali rincian pesan yang kukirim. Benar, sudah terkirim.

Aku membalasnya "Ukhti Yush. Ana sudah membalasnya. InsyaaAllaah ana bersedia, Ukh"

Selepas aku mengetik pesan itu, aku memasukkannya ke dalam lemari.
Aku keluar kamar dan bergabung dengan yang lainnya.

Selepas Maghrib, aku mengecek kembali handphoneku. Dari Ukhti Yush. Jantungku berdebar takut.

"Allaahu Akbar, Ukhti. Afwan mengganggu anti ya. Sepertinya sikap diam anti ini bukan pertanda jawaban Iya, melainkan penolakan halus. Selamat melanjutkan aktifitas, Ukhti. Ummi Nadia akan kenalkan ikhwan itu dengan sahabat kita yang lain. Semoga Allah merahmatimu, Ukhti"

Aku membacanya berkali-kali. Aku ambil kesimpulan, Berarti SMSku tidak ada yang sampai padanya?
Subhaanallaah. MasyaaAllaah.

Aku menelfon Ukhti Yush.

"Salaam'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu, Ukhti Yush.." Sapaku.
"Wa 'alaikumussalaam wa rahmatullaahi wa barakaatuh, Ukhti Sofiah.." Ukhti Yosh tetap ramah.

"Afwan soal sms itu..." aku mulai cerita.
Namun Ukhti Yush mendadak memotong dan menghiburku.
"Tak apa, Ukh. Sebagai perempuan, ana faham. Anti berhak memilih siapa yang akan jadi suami anti. Waktu anti tidak membalas SMS ana, padahal ana sudah kirim 2x, ana tahu kalau anti tidak bersedia."

Aku kembali terdiam. Aku tidak mencoba menjelaskan bahwa sebenarnya aku sudah membalas SMSnya. Aku tidak perlu mengatakan itu. Sepertinya Allaah menggunakan cara ini agar aku tidak berta'aruf dengan ikhwan itu.

"Jazakillaah khair katsiir, Ukhti Yush. Sekali lagi, Maaf..."

*******

Dua kejadian itu terjadi dalam kurun satu minggu.
Tanggal 26 Maret (Hari Selasa) dan 02 April (Hari Selasa).

Aku memeluk Mushafku. Ada haru yang sangat dalam. Sangat Khusyu' membelai jiwa.
Mataku terasa panas. Aku bersimpuh.

"Aku sangat menyukai caraMu menjauhkanku dari yang bukan jodohku wahai Tuhanku. Aku seperti mendengar seorang lelaki merendahkan hatinya tuk berbisik tentangku padaMu. Muliakanlah ia di dunia dan akhirat wahai Allaah..."

Aku menyeka airmataku. "Jadikan ia seorang Ulamaa yang tempat berpulangnya adalah JannahMu, yaa Allaah..."

Jam menunjukkan pukul 18:30 WIB.
Aku merasa sangat lega dan bahagia.

Setiap kejadian adalah kerja tangan Allaah.
Dan seorang hamba memiliki senjata ampuh untuk merayu Tuhan, yaitu Do'a.

Jadikan aku seorang syahidah wahai Allaah, isteri seorang Syahid dan Ibu dari syuhadaa.












Kamis, 12 September 2013

Indahnya Menikah Saat Kuliah




Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam dan satu-satunya layak untuk disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.



Saya menulis ini dalam kondisi belum menikah- Allaah belum titahkan 'KUN" untuk itu. Namun aku telah menganggap bahwa Pernikahan karena Allaahu ta'aalaa adalah gerbang yang saat memasukinya akan lebur banyak kegelisahan dan permasalahan. Kuatkan iman dan pilihlah lelaki yang Imannya merekah serta mampu mekarkan imanmu juga- InsyaaAllaah dunia ada di tangan kalian. Di belakang kalian. Dan SELAMAT, kalianlah pasangan Jannah yang disebut-sebut sebagai PEMENANG :)

Menunda-nunda menikah bisa merugi. Berikut penjelasan yang bagus dari ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan -hafizhohullah- yang kami kutip dari Web Sahab.net (arabic).

Di era modern saat ini, menikah di usia muda khususnya saat kuliah, adalah suatu hal yang jarang dilakukan. Kebanyakan orang menganggap masa kuliah adalah masanya untuk mengaktualisasikan diri, memperluas jaringan sosial dan bersenang-senang dengan kawan-kawan. Namun, siapa bilang menikah saat kuliah lantas tidak bisa bergaul?
Fakta mengejutkan terungkap bahwa aktualisasi diri justru digambarkan oleh pendiri Psikologi Humanistik Abraham M Mashlow, justru taraf aktualisasi diri lebih cepat dicapai ketika seseorang menikah di usia 20-an tahun.

“Orang yang menikah di usia 20 tahun atau orang yang menikah di usia dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna dibanding dengan mereka yang selalu menunda pernikahan,” demikian kutipan padangan Mashlow.

“Diane E Papalia dan Sally Wendkos Olds mengemukakan, usia terbaik untuk menikah bagi perempuan adalah 19-25 tahun sedangkan bagi laki-laki 20-25 tahun diharapkan sudah menikah. Ini adalah usia terbaik untuk memulai kehidupan berumah tangga,” tulis Adhim.

Image

tidak ada hubungannya menikah dengan kegagalan kuliah. Sebab aktualisasi diri , bermuara pada diri masing-masing individu. Jika sudah siap secara fisik dan mental, apalagi orangtua sudah merestui, buat apa menunda? Insya Allah rejeki dan berkah bisa mengalir dengan sendirinya. Yang penting kita punya keyakinan

Ada banyak faedah dalam menikah di usia muda..

[Faedah pertama: Hati semakin tenang dan sejuk dengan adanya istri dan anak]

Di antara faedah segera menikah adalah lebih mudah menghasilkan anak yang dapat menyejukkan jiwa. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)

Istri dan anak adalah penyejuk hati. Oleh karena itu, Allah -subhanahu wa ta’ala- menjanjikan dan mengabarkan bahwa menikah dapat membuat jiwa semakin tentram. Dengan menikah seorang pemuda akan merasakan ketenangan, oleh karenanya ia pun bersegera untuk menikah.

هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)

Demikian pula dengan anak. Allah pun mengabarkan bahwa anak adalah separuh dari perhiasan dunia sebagaimana firman-Nya,

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. ” (QS. Al Kahfi: 46)

Anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Setiap manusia pasti menginginkan perhiasan yang menyejukkan pandangan. Sebagaimana manusia pun begitu suka mencari harta, ia pun senang jika mendapatkan anak. Karena anak sama halnya dengan harta dunia, yaitu sebagai perhiasan kehidupan dunia. Inilah faedah memiliki anak dalam kehidupan dunia.

Sedangkan untuk kehidupan akhirat, anak yang sholih akan terus memberikan manfaat kepada kedua orang tuanya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : علم ينتفع به ، أو صدقة جارية ، أو ولد صالح يدعو له

“Jika manusia itu mati, maka amalannya akan terputus kecuali tiga perkara: [1] ilmu yang bermanfaat, [2] sedekah jariyah, dan [3] anak sholih yang selalu mendoakannya.”

Hal ini menunjukkan bahwa anak memberikan faedah yang besar dalam kehidupan dunia dan nanti setelah kematian.

[Faedah kedua: Bersegera nikah akan mudah memperbanyak umat ini]

Faedah lainnya, bersegera menikah juga lebih mudah memperbanyak anak, sehingga umat Islam pun akan bertambah banyak. Oleh karena itu, setiap manusia dituntut untuk bekerjasama dalam nikah membentuk masyarakat Islami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تزوجوا فإني مكاثر بكم يوم القيامة

“Menikahlah kalian. Karena aku begitu bangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat.”

Atau sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Intinya, bersegera menikah memiliki manfaat dan dampak yang luar biasa. Namun ketika saya memaparkan hal ini kepada para pemuda, ada beberapa rintangan yang muncul di tengah-tengah mereka.

Rintangan pertama:

Ada yang mengutarakan bahwa nikah di usia muda akan membuat lalai dari mendapatkan ilmu dan menyulitkan dalam belajar. Ketahuilah, rintangan semacam ini tidak senyatanya benar. Yang ada pada bahkan sebaliknya. Karena bersegera menikah memiliki keistimewaan sebagaimana yang kami utarakan yaitu orang yang segera menikah akan lebih mudah merasa ketenangan jiwa. Adanya ketenangan semacam ini dan mendapatkan penyejuk jiwa dari anak maupun istri dapat lebih menolong seseorang untuk mendapatkan ilmu. Jika jiwa dan pikirannya telah tenang karena istri dan anaknya di sampingnya, maka ia akan semakin mudah untuk mendapatkan ilmu.

Adapun seseorang yang belum menikah, maka pada hakikatnya dirinya terus terhalangi untuk mendapatkan ilmu. Jika pikiran dan jiwa masih terus merasakan was-was, maka ia pun sulit mendapatkan ilmu. Namun jika ia bersegera menikah, lalu jiwanya tenang, maka ini akan lebih akan menolongnya. Inilah yang memudahkan seseorang dalam belajar dan tidak seperti yang dinyatakan oleh segelintir orang.

Rintangan kedua:

Ada yang mengatakan bahwa nikah di usia muda dapat membebani seorang pemuda dalam mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Rintangan ini pun tidak selamanya bisa diterima. Karena yang namanya pernikahan akan senantiasa membawa keberkahan (bertambahnya kebaikan) dan akan membawa pada kebaikan. Menjalani nikah berarti melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan seperti ini adalah suatu kebaikan. Seorang pemuda yang menikah berarti telah menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun mencari janji kebaikan dan membenarkan niatnya, maka inilah yang sebab datangnya kebaikan untuknya. Ingatlah, semua rizki itu di tangan Allah sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

“ Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (QS. Hud: 6)

Jika engkau menjalani nikah, maka Allah akan memudahkan rizki untuk dirimu dan anak-anakmu. AllahTa’ala berfirman,

نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al An’am: 151)

Oleh karenanya ,yang namanya menikah tidaklah membebani seorang pemuda sebagaimana anggapan bahwa menikah dapat membebani seorang pemuda di luar kemampuannya. Ini tidaklah benar. Karena dengan menikah akan semakin mudah mendapatkan kebaikan dan keberkahan. Menikah adalah ketetapan Allah untuk manusia yang seharusnya mereka jalani. Ia bukan semata-mata khayalan. Menikah termasuk salah pintu mendatangkan kebaikan bagi siapa yang benar niatnya.

Sumber: http://www.sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=698

Semoga Allah memudahkan para pemuda untuk mewujudkan hal ini dengan tetap mempertimbangkan maslahat dan mudhorot (bahaya). Jika ingin segera menikah dan sudah merasa mampu dalam menafkahi istri, maka lobilah orang tua dengan cara yang baik. Semoga Allah mudahkan.


Senin, 24 Juni 2013

Ukhty, Segera Menikah atau Bunuh Saja Perasaan Cinta itu !

Suatu ketika, dalam majelis koordinasi seorang akhwat berkata pada mas’ul dakwahnya, “akhi, ana ga bisa lagi berinteraksi dengan akh fulan”. Suara akhwat itu bergetar. Nyata sekali menekan perasaannya.”Pekan lalu, ikhwan tersebut membuat pengakuan yang membuat ana merasa risi dan….Afwan, terus terang juga tersinggung.” Sesaat kemudian suara dibalik hijab itu mengatakan….ia jatuh cinta pada ana.”
mas’ul tersebut terkejut, tapi ditekannya getar suaranya. Ia berusaha tetap tenang. “Sabar ukhti, jangan terlalu diambil hati. Mungkin maksudnya tidak seperti yang anti bayangkan.” Sang mas’ul mencoba menenangkan terutama untuk dirinya sendiri.


“Afwan…ana tidak menangkap maksud lain dari perkataannya. Ikhwan itu mungkin tidak pernah berpikir dampak perkataannya. Kata-kata itu membuat ana sedikit banyak merasa gagal menjaga hijab ana, gagal menjaga komitmen dan menjadi penyebab fitnah. Padahal, ana hanya berusaha menjadi bagian dari perputaran dakwah ini.” sang akhwat kini mulai tersedak terbata.

“Ya sudah…Ana berharap anti tetap istiqamah dengan kenyataan ini, ana tidak ingin kehilangan tim dakwah oleh permasalahan seperti ini”. Mas’ul itu membuat keputusan, “ana akan ajak bicara langsung akh fulan”
Beberapa Waktu berlalu, ketika akhirnya mas’ul tersebut mendatangi dulan yang bersangkutan. Sang Akh berkata, “Ana memang menyatakan hal tersebut, tapi apakah itu suatu kesalahan?”

Sang mas’ul berusaha menanggapinya searif mungkin. “Ana tidak menyalahkan perasaan antum. Kita semua berhak memiliki perasaan itu. Pertanyaan ana adalah, apakah antum sudah siap ketika menyatakan perasaan itu. Apakah antum mengatakannya dengan orientasi bersih yang menjamin hak-hak saudari antum. Hak perasaan dan hak pembinaannya. Apakah antum menyampaikan kepada pembina antum untuk diseriuskan?. Apakah antum sudah siap berkeluarga. Apakah antum sudah berusaha menjaga kemungkinan fitnah dari pernyataan antum, baik terhadap ikhwah lain maupun terhadap dakwah????” Mas’ul tersebut membuat penekanan substansial.

” Akhi bagi kita perasaan itu tidak semurah tayangan sinetron atau bacaan picisan dalam novel-novel. Bagi kita perasaan itu adalah bagian dari kemuliaan yang Allah tetapkan untuk pejuang dakwah. Perasaan itulah yang melandasi ekspansi dakwah dan jaminan kemuliaan Allah SWT. Perasaan itulah yang mengeksiskan kita dengan beban berat amanah ini. Maka Jagalah perasaan itu tetap suci dan mensucikan.”

Cinta Aktivis Dakwah
Bagaimana ketika perasaan itu hadir. Bukankah ia datang tanpa pernah diundang dan dikehendaki?
Jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukanlah perkara sederhana. Dalam konteks dakwah, jatuh cinta adalah gerbang ekspansi pergerakan. Dalam konteks pembinaan, jatuh cinta adalah naik marhalah pembinaan. Dalam konteks keimanan, jatuh cinta adalah bukti ketundukan kepada sunnah Rosullulah saw dan jalan meraih ridho Allah SWT.

Ketika aktivis dakwah jatuh cinta, maka tuntas sudah urusan prioritas cinta. Jelas, Allah, Rosullah dan jihad fii sabilillah adalah yang utama. Jika ia ada dalam keadaan tersebut, maka berkahlah perasaannya, berkahlah cintanya dan berkahlah amal yang terwujud dalam cinta tersebut. Jika jatuh cintanya tidak dalam kerangka tersebut, maka cinta menjelma menjadi fitnah baginya, fitnah bagi ummat, dan fitnah bagi dakwah. Karenannya jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukan perkara sederhana.

Ketika Ikhwan mulai bergetar hatinya terhadap akhwat dan demikian sebaliknya. Ketika itulah cinta ‘lain’ muncul dalam dirinya. Cinta inilah yang akan kita bahas disini. Yaitu sebuah karunia dari kelembutan hati dan perasaan manusia. Suatu karunia Allah yang membutuhkan bingkai yg jelas. Sebab terlalu banyak pengagung cinta ini yang kemudian menjadi hamba yang tersesat. Bagi aktivis dakwah, cinta lawan jenis adalah perasaan yang lahir dari tuntutan fitrah, tidak lepas dari kerangka pembinaan dan dakwah. Suatu perasaan produktif yang dengan indah dikemukakan oleh ibunda kartini,” …akan lebih banyak lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada disamping laki-laki yg cakap, lebih banyak kata saya…..daripada yang saya usahakan sebagai perempuan yg berdiri sendiri..”

Cinta memiliki 2 mata pedang. Satu sisinya adalah rahmat dengan jaminan kesempurnaan agama dan disisi lainnya adalah gerbang fitnah dan kehidupan yg sengsara. Karenanya jatuh cinta membutuhkan kesiapan dan persiapan. Bagi setiap aktivis dakwah, bertanyalah dahulu kepada diri sendiri, sudah siapkah jatuh cinta???jangan sampai kita lupa, bahwa segala sesuatu yang melingkupi diri kita, perkataan, perbuatan, maupun perasaan adalah bagian dari deklarasi nilai diri sebagai generasi dakwah. Sehingga umat selalu mendapatkan satu hal dari apapun pentas kehidupan kita, yaitu kemuliaan Islam dan kemuliaan kita karena memuliakan Islam.

Deklarasi Cinta
Sekarang adalah saat yang tepat bagi kita untuk mendeklarasikan cinta diatas koridor yang bersih. Jika proses dan seruan dakwah senantiasa mengusung pembenahan kepribadiaan manusia, maka layaklah kita tempatkan tema cinta dalam tempat utama. Kita sadari kerusakan prilaku generasi hari ini, sebagian besar dilandasi oleh salah tafsir tentang cinta. Terlalu banyak penyimpangan terjadi, karena cinta didewakan dan dijadikan kewajaran melakukan pelanggaran. Dan tema tayangan pun mendeklarasikan cinta yang dangkal. Hanya ada cinta untuk sebuah persaingan, sengketa. Sementara cinta untuk sebuah kemuliaan, kerja keras dan pengorbanan, serta jembatan jalan kesurga dan kemuliaan Allah, tidak pernah mendapat tempat disana.
Sudah cukup banyak pentas kejujuran kita lakukan. Sudah terbilang jumlah pengakuan keutamaan kita, sebuah dakwah yang kita gagas, Sudah banyak potret keluarga yg baru dalam masyarakat yg kita tampilkan. Namun berapa banyak deklarasi cinta yang sudah kita nyatakan. Cinta masih menjadi topik ‘asing’ dalam dakwah kita

Wajah, warna, ekspresi dan nuansa cinta kita masih terkesan ‘misteri. Pertanyaan sederhana, “Gimana sih, kok kamu bisa nikah sama dia, Emang kamu cinta sama dia?”, dapat kita jadikan indikator miskinnya kita mengkampanyekan cinta suci dalam dakwah ini.
Pernyataan ‘Nikah dulu baru pacaran’ masih menjadi jargon yang menyimpan pertanyaan misteri, “Bagaimana caranya, emang bisa?”. Sangat sulit bagi masyarakat kita untuk mencerna dan memahami logika jargon tersebut. Terutama karena konsumsi informasi media tayangan, bacaan, diskusi dan interaksi umum, sama sekali bertolak belakang dengan jargon tersebut.

Inilah salah satu alasan penting dan mendesak untuk mengkampanyekan cinta dengan wujud yang baru. Cinta yang lahir sebagai bagian dari penyempurnaan status hamba. Cinta yang diberkahi karena taat kepada sang Penguasa. Cinta yang diberkahi karena taat pada sang penguasa. Cinta yang menjaga diri dari penyimpangan, penyelewengan dan perbuatan ingkar terhadap nikmat Allah yang banyak. Cinta yang berorientasi bukan sekedar jalan berdua, makan, nonton dan seabrek romantika yang berdiri diatas pengkhianatan terhadap nikmat, rezki, dan amanah yang Allah berikan kepada kita.

Kita ingin lebih dalam menjabarkan kepada masyarakan tentang cinta ini. Sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan hasil akhir keluarga dakwah. Biarkan mereka paham tentang perasaan seorang ikhwan terhadap akhwat, tentang perhatian seorang akhwat pada ikhwan, tentang cinta ikhwan-akhwat, tentang romantika ikhwan-akhwat dan tentang landasan kemana cinta itu bermuara. Inilah agenda topik yang harus lebih banyak dibuka dan dibentangkan. Dikenalkan kepada masyarakat berikut mekanisme yang menyertainya. Paling tidak gambaran besar yang menyeluruh dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga mereka bisa mengerti bagaimana proses panjang yang menghasilkan potret keluarga dakwah hari ini.

Epilog
Setiap kita yang mengaku putra-putri Islam, setiap kita yg berjanji dalam kafilah dakwah, setiap kita yang mengikrarkan Allahu Ghoyatuna, maka jatuh cinta dipandang sebagai jalan jihad yang menghantarkan diri kepada cita-cita tertinggi, syahid fi sabililah. Inilah perasaan yang istimewa. Perasaan yang menempatkan kita satu tahap lebih maju. Dengan perasaan ini, kita mengambil jaminan kemuliaan yang ditetapkan Rosullulah. Dengan perasaan ini kita memperluas ruang dakwah kita. Dengan perasaan ini kita naik marhalah dalam dakwah dan pembinaan.

Betapa Allah sangat memuliakan perasaan cinta orang-orang beriman ini. Dengan cinta itu mereka berpadu dalam dakwah. Dengan cinta itu mereka saling tolong menolong dalam kebaikan, dengan cinta itu juga mereka menghiasi Bumi dan kehidupan di atasnya. Dengan itu semua Allah berkahi nikmat itu dengan lahirnya anak-anak shaleh yang memberatkan Bumi dengan kalimat Laa Illaha Ilallah. Inilah potret cinta yang sakinah, mawaddh, warahmah.
jadi…sudah berani kau jatuh cinta…??

Selasa, 09 April 2013