Minggu, 02 Desember 2012

KAJIAN SEORANG MUSLIMAH YANG MEMPERSIAPKAN DIRI UNTUK MENYEMPURNAKAN IMAN (MENIKAH)

                             
Artikel ini saya peroleh dari berbagai sumber. Mulai dari Buku LaaTahzan for the smart Muslimah, Fiqih Wanita hingga dari berbagai sumber di Internet. Semoga bermanfaat bagi yang membaca dan Kita menjadi pembawa kabar kebenaran bagi Sesama. insyaAllah.
 
“Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang, kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar menjadi cocok dan tenteram kepadanya” (Al-A’raf 189)


Syariat Islam telah mengatur hak suami terhadap istri dengan menaatinya. Istri harus menaati suami dalam segala hal yang tidak berbau maksiat, berusaha memenuhi segala kebutuhannya sehingga membuat suami ridha kepadanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits pernah bersabda, “Jika seorang istri melakukan shalat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, memelihara kemaluannya dan menaati suaminya, niscaya dia akan memasuki surga Tuhannya.” (HR. Ahmad). 


Bahkan dalam hadits lain disebutkan, “Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, tentu aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada Khalik (Sang Pencipta).” (HR. Ahmad). 

Oleh karena itu, seorang istri harus menuruti perintah suaminya. Jika suami memanggilnya, maka dia harus menjawab panggilannya. Jika suami melarang sesuatu maka dia harus menjauhinya. Jika suami menasihatinya maka dia harus menerima dengan lapang dada. Jika suami melarang tamu yang datang, baik kerabat dekat maupun jauh, baik dari kalangan mahram ataupun tidak, untuk masuk rumah selama dia bepergian, maka istri wajib mematuhinya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ketahuilah bahwa kalian mempunyai hak atas istri kalian dan istri kalian juga mempunyai hak atas kalian. Adapun hak kalian atas istri kalian adalah tidak mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian.” (HR. At-Tirmidzi)

Istri Yang Taat
Istri yang taat adalah istri yang mengetahui kewajibannya dalam agama untuk mematuhi suaminya dan menyadari sepenuh hati betapa pentingnya mematuhi suami. Istri harus selalu menaati suaminya pada hal-hal yang berguna dan bermanfaat, hingga menciptakan rasa aman dan kasih sayang dalam keluarga agar perahu kehidupan mereka berlayar dengan baik dan jauh dari ombak yang membuatnya bergocang begitu hebat. 

Sebaliknya, Islam telah memberikan hak seorang wanita secara penuh atas suaminya, di mana Islam memerintahkannya untuk menghormati istrinya, memenuhi hak-haknya dan menciptakan kehidupan yang layak baginya sehingga istrinya patuh dan cinta kepadanya.
Kewajiban menataati suami yang telah ditetapkan agama Islam kepada istri tidak lain karena tanggung jawab suami yang begitu besar, sebab suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan dia bertanggungjawab atas apa yang menjadi tanggungannya. 

Di samping itu, karena suami sangat ditekankan untuk mempunyai pandangan yang jauh ke depan dan berwawasan luas, sehingga suami dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui istri berdasarkan pengalaman dan keahliannya di bidang tertentu.
Istri yang bijaksana adalah istri yang mematuhi suaminya, melaksanakan perintahnya, serta mendengar dan menghormati pendapat dan nasihatnya dengan penuh perhatian. Jika dia melihat bahwa di dalam pendapat suaminya terdapat kesalahan maka dia berusaha untuk membuka dialog dengan suaminya, lalu menyebutkan kesalahannya dengan lembut dan rendah hati. Sikap tenang dan lembut bak sihir yang dapat melunakkan hati seseorang.

Ketaatan kepada suami mungkin memberatkan seorang istri. Seberapa banyak istri mempersiapkan dirinya untuk mematuhi suaminya dan bersikap ikhlas dalam menjalankannya maka sebanyak itulah pahala yang akan didapatkannya, karena seperti yang dikatakan oleh para ulama salaf, “Balasan itu berbanding lurus dengan amal yang dilakukan seseorang.” Tidak diragukan bahwa istri bisa memetik banyak pahala selain taat kepada suami seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya, namun pahala yang didapatkannya tidak sempurna jika tidak mendapatkan pahala dalam menaati suaminya, menyenangkan hatinya dan tidak melakukan sesuatu yang tidak disukainya. 

Anda mungkin menemukan benih-benih kesombongan mulai merasuki istri anda, maka ketika itu hendaklah anda berlapang dada kemudian menasihatinya dengan sepenuh hati. Layaknya sebuah perusahaan, pernikahan juga akan mengalami ancaman serius berupa perselisihan dan sengketa antara individu yang ada di dalamnya. Suami adalah pelindung keluarga berdasarkan perintah Allah kepadanya, maka dialah yang bertanggungjawab dalam hal ini. Sebab, keluarga adalah pemerintahan terkecil, dan suamilah rajanya, sehingga dia wajib dipatuhi. 

Allah Ta’ala telah berfirman, “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisaa` [4] : 31)

Batas-batas ketaatan
Kewajiban istri untuk menaati suaminya bukan bukan ketaatan tanpa batasan, melainkan ketaatan seorang istri yang shalih untuk suami yang baik dan shalih, suami yang dipercayai kepribadiannya dan keikhlasannya serta diyakini kebaikan dalam tindakannya.

Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidak ada ketaatan dalam hal berbuat maksiat akan tetapi ketaatan adalah pada hal-hal yang baik.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud). Ketaatan istri ini harus dibarengi oleh sikap suami yang suka berkonsultasi dan meminta masukan dari istrinya sehingga memperkuat ikatan batin dalam keluarga. 

Konsultasi antara suami dan istri pada semua hal yang berhubungan dengan urusan keluarga merupakan sebuah keharusan, bahkan hal-hal yang harus dilakukan suami untuk banyak orang. Tidak ada penasehat yang handal melebihi istri yang tulus dan mempunyai banyak ide cemerlang untuk suaminya. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam suka berkonsultasi dengan istri-istrinya dan mengambil pendapat mereka dalam beberapa hal penting.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berskonsultasi kepada istrinya, Ummu Salamah pada kondisi yang sangat penting di kala para shahabat enggan menyembelih unta dan mencukur rambutnya. Ketika itu Ummu Salamah meminta Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk melakukannya terlebih dahulu dan tidak berbicara kepada siapapun. Demi melihat hal itu, para shahabat pun melakukannya. Sungguh pendapat Ummu Salamah sangat brilliant!

Akhirnya, kita dapat memahami bahwa Islam telah mengatur hak-hak suami-istri. Jika masing-masing pasangan melaksanakannnya dengan cara terbaik tentu kehidupan rumah tangga akan bahagia, namun jika hak tersebut disalahgunakan dan tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka hal itu dapat menggagalkan sebuah ikatan perkawinan. Intinya adalah mengikuti Al-Qur`an dan hadits dalam menjalankan bahtera pernikahan sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Amiin
tidak sekedar punya keinginan untuk menikah saja alias ’bonek’ (bondo nekat) tapi sebuah niat yang dibarengi dengan persiapan lahir dan batin sehingga ketika saatnya nanti tiba kita tidak ragu untuk melangkah.

Persiapan melakukan apapun adalah awal dari keberhasilan. Apalagi untuk sebuah pernikahan, momen besar dalam kehidupan seorang laki-laki dan seorang permpuan. Momen besar bagi mempelai laki-laki karena ia akan bertambah amanah dari tanggung jawab atas dirinya sendiri menjadi tanggung jawab terhadap sebuah keluarga.
Bermula dari istri dan nantinya anak-anak. Ia akan menerima limpahan perwalian seorang perempuan dari ayah atau wali yang lain. Bagi seorang perempuan momen besar itu lebih luar biasa lagi. Ia akan mempersilahkan seorang laki-laki yang tadinya bukan siapa-siapa, untuk memimpin dirinya. Kerelaan yang sungguh luar biasa.

Untuk sebuah persitiwa bersejarah itulah laki-laki dan perempuan hendaknya memiliki kesiapan diri secara moral spiritual, konsepsional, fisik, material dan sosial.

a. Persiapan Moral dan Spiritual

Kesiapan secara spiritual ditandai oleh mantapnya niat dan langkah menuju kehidupan rumah tangga. Tidak ada rasa gamang atau keraguan tatkala memutuskan untuk menikah, dengan segala konsekuensi atau resiko yang akan dihadapi paska pernikahan.

Jika anda seorang laki-laki, ada kesiapan dalam diri anda untuk bertindak sebagai qawam dalam rumah tangga, untuk berfungsi sebagai bapak bagi anak-anak yang akan lahir nantinya dari pernikahan. Ada kesiapan dalam diri anda untuk menanggung segala beban yang disebabkan oleh karena posisi anda sebagai suami dan bapak.

Jika anda seorang perempuan, harus ada kesiapan dalam diri untuk membuka ruang baru bagi intervensi seorang mitra yang bernama suami. Kesiapan untuk mengurangi sebagian otoritas atas dirinya sendiri lantaran tunduk pada prinsip syura dan ketaatan pada suami. Kesiapan untuk hamil, menyusui. Kesiapan untuk menanggung beban-beban yang muncul akibat hadirnya anak.

Sebelum memutuskan untuk menikah, persiapan diri dari segi moral amat signifikan. Ingatlah pernyataan Allah bahwa wanita-wanita yang beriman adalah untuk laki-laki yang beriman dan wanita-wanita pezina adalah untuk laki-laki pezina. Yang keji hanya layak mendapatkan yang keji pula.


Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita yang keji (pula). Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik (pula) (An-Nur:26)

Jika anda ingin mendapat pasangan yang baik, jadikan diri baik terlebih dahulu. Jika ingin mendapatkan istri yang salehah, jadikan diri anda saleh terlebih dahulu, dan sebaliknya. Bagaimana anda menuntut istri anda sekualitas Fatimah, sedangkan anda sendiri tidak sekapasitas Ali? Bagiamana mungkin anda berharap istri anda setabah Sarah dan Hajar, sedangkan anda tidak sekokoh Ibrahim As.?

Para sahabat dan sahabiyat Nabi Saw. adalah komunitas yang terbina dalam proses tarbiyah Islamiyah secara unik dan berkesinambungan. Mereka adalah sebaik-baik generasi, oleh karenanya laki-laki muslim pada zaman itu mendapatkan pasangan wanita muslimah yang sepadan dalam kebaikan. Pilihan mereka adalah baik dan lebih baik.

Adapun cara mempersiapkan moralitas untuk para calon pengantin sebagaimana yang terjadi pada kurun kenabian, adalah dengan meningkatkan pengetahuan agama dan perbaikan diri secara kontinu melalui forum tarbiyah, ta’lim, training, berguru secara khusus, membaca, silaturahim dan banyak wasilah yang lain. Bersamaan dengan itu jadikan diri cinta beramal saleh dan ihsan. Tidak lupa senantiasa langkah bergabung dengan lingkungan yang baik. Semoga Allah memudahkan langkah usaha itu dan menjadikan diri kita menjadi pribadi taqwa.

Persiapan spiritual bisa anda lakukan dengan berbagai tuntutan yang ibadah baik yang wajib maupun yang disunnahkan. Berdoa kepada Allah senantiasa agar mendapatkan kekuatan dan kemantapan hati dalam meniti hidayah sehingga tidak melenceng dari kebenaran. Istighfar, mohon ampun kepada Allah, dan taubat merupakan cara untuk melakukan evaluasi atau kelemahan diri.
Lebih penting lagi adalah upaya kolektif untuk senantiasa berada dalam kebaikan. Ada upaya secara bersama-sama dari komunitas kaum muslimin untuk mencapai kematangan diri sesuai arahan Islam.

b. Persiapan Konsepsional

Kesiapan konsepsional ditandai dengan dikuasainya berbagai hukum, etika, aturan dan pernak-pernik pernikahan serta kerumahtanggaan. Kadang dijumpai di kalangan masyarakat kita, mereke menikah tanpa aturan Islam tentang pernikahan dan kerumahtanggaan. Wajar kalau kemudian dalam hidup berumah tangga terjadi berbagai bentuk yang tidak bersesuaian dengan sunah kenabian disebabkan oleh ketidakmengertian.

Ada pasangan yang telah bertahun-tahun menikah tapi ternyata tidak tahu bagaimana do’a hubungan suami istri dan bagaimana cara mandi besar.

Ada fenomena di beberapa kalangan masyarakat kita yang tidak memperhatikan faktor kesucian rumah tangga. Berbagai jenis najis tidak dibersihkan dengan tatacara yang sesuai dengan ketentuan fikih. Di antara penyebab semua itu adalah minimnya ilmu mengenai hukum pernikahan dan kekeluargaan.

Bahkan mulai merebak fenomena saat ini banyak terjadi pernikahan antaragama, atas nama kebebasan menjalankan kehidupan beragama. Beberapa kalangan artis melakukannya dengan bangga dan terbuka, dan bahkan ketika salah seorang muslimah yang menjadi artis menikah dengan seorang laki-laki non muslim, ia mengatakan ketika dikonfirmasi, ”Saya tidak mengetahui bahwa menikah antar agama itu tidak diperbolehkan dalam Islam.”

Seakan-akan pernikahan hanyalah peristiwa hidup pada umumnya seperti makan, tidur, mandi, dst. Seakan-akan begitu mudah mereka melaksanakan itu tanpa ada beban bahwa pernikahan adalah sebuah amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.]

Seorang laki-laki dan perempuan harus mengetahui dengan baik dan benar posisi dan peran masing-masing pihak dalam konteks rumah tangga. Apa hak dan kewajiban masing-masing pihak dan juga hak serta kewajiban bersama.
Tata krama pergaulan suami istri dalam rumah tangga dan berbagai pengetahuan yang menyebabkan kebaikan sebuah keluarga perlu dimengerti, sehingga belajar dan menyiapkan diri secara konsepsional merupakan suatu keharusan bagi setiap pribadi.

Cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan persiapan konsepsional adalah dengan banyak belajar, baik dengan diskusi, bertanya kepada ahlinya, mengikuti kajian, ta’lim, pembekalan pernikahan, atau dnegan membaca buku-buku dan mendengarkan ceramah melalui media elektronik. Banyak cara yang bisa dilakukan, yang diperlukan hanyalah niat dan kemauan.

Apalagi ketika Umar bin Khathab memesankan kepada kaum laki-laki, ”Ajari istrimu kandungan surat An-Nur”. Maka semakin menguatkan alasan bagi kaum laki-laki untuk banyak membekali diri agar mampu mengajarkan isi surat An-Nur kepada istrinya. Bukan hanya mengajarkan, namun ia adalah pihak yang menuntun dan mencontohkan pertamakali aplikasi dari isi surat An-nur.

c. Persiapan Fisik

Kesiapan fisik ditandai dengan adanya kesehatan yang memadai sehingga kedua belah pihak akan mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami dan istri dengan optimal. Apabila di antara indikator ”mampu” yang dituntut dalam pelaksanaan pernikahan adalah kemampuan melakukan jimak, maka kesehatan dituntut pada laki-laki dan perempuan salah satunya menyangkut kemampuan berhubungan suami istri secara wajar. Hal yang amat penting dalam konteks kesehatan ini adalah pada sisi kesehatan reproduksi. Bahwa laki-laki dan perempuan akan mampu melakukan fungsi reproduksi dengan baik.

Melakukan pemeriksaan kesehatan kepada ahlinya merupakan satu langkah yang bisa ditempuh menjelang pernikahan. Masing-masing pihak juga bisa mendeteksi dalam diri sendiri adanya penyakit tertentu yang dirasakan selama ini. Laki-laki dan perempuan muslim hendaklah rajin melaksanakan olahraga sebagai bagian dari penjagaan kesehatan dan kebugaran diri.


Oleh karena itu diperlukan kebugaran, bukan saja kesehatan, agar bisa senantiasa energik, tidak malas-malasan, tidak mudah lelah, dan senantiasa memiliki vitalitas tingi. Hidup teratur, makan seimbang dan bergizi, cukup istirahat, olahraga teratur merupakan langkah-langkah untuk menuju kesehatan dan kebugaran fisik.

d. Persiapan Material

Islam tidak menghendaki kita berpikiran materialistis, bahwa orientasi dalam kehidupan hanyalah materi. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa materi merupakan salah satu sarana ibadah kepada Allah.

Islam meletakkan kewajiban ekonomi akibat dari pernikahan ada di tangan suami. Para suami berkewajiban menyediakan kehidupan bagi istri, mulai kebutuhan konsumsi, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dan juga transportasi. Bukan berarti istri tidak boleh bekerja produktif. Hanya saja pada pihak istri bukan merupakan kewajiban untuk produktif di bidang ekonomi.

Persiapan material sebelum pernikahan dimaksudkan lebih kepada kesiapan pihak laki-laki untuk menafkahi dan kesiapan perempuan untuk mengelola keuangan keluarga. Bukan berapa jumlah tersedianya dana untuk melaksanakan pernikahan.

Sebelum menikah, seorang laki-laki harus mengetahui pintu-pintu rizki yang akan menghantarkan dia pada pemenuhan kewajiban dalam menafkahi keluarganya. Setiap muslim hendaknya memiliki optimisme tinggi untuk bisa mendapatkan karunia dari Allah berupa rizki. Sepanjang mereka mau berusaha, jalan-jalan kemudahan itu akan datang. Allah telah berfiman:

Sesungguhnya Kami menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu (sumber) penghidupan (Al-A’raf:10)

Meskipun kaum perempuan tidak mendapatkan beban kewajiban material, akan tetapi bukan berarti tidak boleh bekerja produktif.
Dalam kehidupan sekarang, dimana kebutuhan hidup semakin kompleks, telah banyak dijumpai suami dan istri sama-sama bekerja, sejak mereka belum berumah tangga. Hal seperti ini tidaklah tercela selama mereka berdua saling meridhai dan memilih pekerjaan halal serta sesuai fitrah masing-masing pihak.

e. Persiapan Sosial

Menikah menyebabkan pelakunya mendapatkan status sosial di tengah masyarakat. Jika sewaktu lajang dia masih menjadi bagian dari keluarga bapak dan ibunya, sehingga belum diperhitungkan dalam kegiatan kemasyarakatan, setelah menikah mereka mulai dihitung sebagai keluarga tersendiri.

Membiasakan diri terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan merupakan cara melakukan persiapan sosial. Apabila laki-laki dan perempuan muslim telah mencapai usia dewasa hendaknya mereka mengambil peran sosial di tengah masyarakat sebagai bagian utuh dari cara mereka belajar berinteraksi dalam kemajuan masyarakat. Jika sebelum menikah tidak terbiasa melakukan interaksi sosial seperti ini, biasanya muncul kekagetan ketika telah berumahtangga dengan sejumlah tuntutan sosial yang ada.

Oleh karena itu, belajar berinteraksi dengan realitas kehidupan masyarakat merupakan salah satu langkah yang perlu diambil oleh laki-laki dan perempuan agar nantinya tidak canggung ketika hidup berumahtangga dan bermasyarakat secara riil.

Wuah… ternyata banyak ya yang harus disiapkan? Bukan untuk nakut-nakutin yang mau nikah lho.. justru sebaliknya supaya semakin kuat azamnya sambil mempersiapkan hal-hal di atas tadi. Sudah siapkahkah kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar