Sabtu, 25 April 2015

Perempuan Buruh Migran: Untold Feeling


There is no place like home.


Mereka meninggalkan rumah tempatnya dibesarkan.
Meninggalkan tanah air yang berisi orang-orang yang katanya peduli, namun tak begitu adanya.
Meninggalkan semua yang dicinta, bertaruh dengan rasa rindu yang pasti akan sangat menyiksa, tanpa tahu, apakah kepulangannya nanti akan membawanya dalam keadaan hidup atau sudah tinggal nama.

Sebelum akhirnya memberanikan diri, menanggung malu yang pasti menggumpal, mereka maju mendaftarkan diri untuk bergabung dalam barisan pahlawan devisa. Tidak serta merta. Mereka pun perang bathin. Semandiri- mandirinya perempuan, aku bersumpah, mereka tetaplah sosok yang kodratnya meminta dilindungi. Barangkali kau melihatnya memakai celana denim dengan rambut diikat dengan cueknya, namun kau tahu betul bahwa Tuhan menciptakannya dengan perangkat yang benar-benar lunak dalam jiwanya. Kodratnya dilindungi, kini ia pergi dengan gagahnya demi kehidupan orang tercintanya tercukupi.

Label yang masyarakat berikan pada buruh migran pun sangat menyudutkan. Dianggap perempuan liar yang sudah bosan hidup di negara sendiri. Dianggap sangat fakir, tidak berpendidikan, sehingga menjadi buruh kasar di negara orang pun tak mengapa.

Saya tidak setuju anggapan itu. Sangat banyak sekali yang harus kita luruskan. Kita harus punya pola fikir yang tidak cenderung menghujat, namun mencari celah solusi, kira-kira kenapa mereka pergi, dan jika mereka terlanjur pergi- sikap heroik seperti apa yang bisa kita berikan?

Kita sejatinya sudah kenyang dengan pemberitaan kekerasan yang dilakukan para majikan mereka di luar negeri sana. Media menyiarkan tentang persoalan-persoalan mereka. Kita tak menyadari kepergian mereka ke luar negeri, namun baru terhenyak saat memandangi foto wajah mereka yang disiari di semua media televisi. Mereka melepuh di rumah sakit. Dianiaya sudah tahunan. Kehidupan yang berat telah mendepresikan jiwanya. Berjuang dengan sengit sementara semua orang memberi tatapan menghina memang adalah nasib yang sangat memuakkan. Kesedihan mereka siapa yang menyelesaikan? Lalu akibatnya lihatlah, kita mendapati kabar mereka melampiaskan segalanya dengan amarah. Mereka bersiteru, akhirnya membunuh.

Kita mengetahui namanya saat ia sudah dieksekusi. Wajahnya familiar di seantero tanah air saat negara sudah gagal memediasi. Prestasi-prestasi mereka nyaris tidak pernah dipublikasikan- atau memang sedari awal kita sudah merasa tidak perlu mengamati kelebihan mereka, karena sudah tenggelam di labeling  buruh migran yang buruk tadi.

Dua tahun lalu saya berkomunikasi dengan teman saya yang kebetulan sedang studi di luar negeri. Mereka memiliki organisasi kekeluargaan warga Indonesia yang tinggal di sana. Sepanjang pembicaraan, saya menangkap nada-nada tidak mengenakkan darinya.

"Dia perempuan baik. Rajin ibadah. Lumayan cantik. Tapi aku nggak mau akrab." katanya.

"Kenapa?"

"Aku kan mahasiswa, dia TKW. Beda. Walaupun sebenarnya aku berniat menjadikannya teman dekat tapi nggak lah. Dia ke sini kan sebagai buruh kasar."

Jawabannya itu benar-benar menghentak. Sangat berhasil membuat saya terbungkam.

Seorang perempuan muda yang terpaksa meninggalkan Indonesia karena harus membiayai adik-adiknya sekolah, agar bisa melunasi hutang-hutang Ayahnya, agar mereka bisa hidup tanpa tatapan mencemooh dari orang, dia meninggalkan negerinya dengan gagahnya, dengan paras cantiknya, namun ia harus tidak dipilih karena ia seorang pekerja. Karena ia ke luar begeri bukan sebagai mahasiswa.

Saya diam cukup lama. Dada terasa sakit. Ini apa-apaan?
Tidak ada yang ambil pusing apakah ia akan menjadikan perempuan itu sebagai orang terdekatnya atau tidak, itu bukan urusan saya. Namun yang mengusik sisi kemanusiaan adalah bagaimana ia melihat bahwa status pekerja di luar negeri itu benar-benar menjadi garis hitam pembatas. Saya tidak bisa membayangkan perempuan tangguh, bercita-cita tinggi namun ia terlahir bukan dari Ayah Ibu yang memiliki uang- lantas disudutkan hanya karena sesuatu yang sebenarnya ia sedang berjuang untuk mengubahnya.

Kekerasan fisik pada mereka, sudah menjadi berita langganan bagi kita. Dan kekerasan psikis tanpa kita sadari, kita saudaranya ini lah yang sudah memberikannya. Kita menatap mereka dengan remeh. Lalu sebenarnya, siapa yang meremehkan siapa? Iya betul, mereka disiksa tubuhnya di sana, lalu kita bagaimana? Kita juga turut andil dalam pembunuhan jiwanya. Pembunuhan harga dirinya. Padahal kita tahu persis, faktor yang mematikan seseorang- yang paling mematikan itu bukan Kanker atau Jantung. Tapi depresi.

Saya berusaha memahami bahwa keputusan mereka mencari nafkah di negeri orang adalah keputusan yang sudah difikirkan, dan itu terjadi pun karena negaranya memang tidak punya cukup solusi untuk selesaikan kepayahan hidupnya. Dan yang selalu menghujat, saya rasa adalah mereka yang barangkali belum berada pada posisi dihimpit persoalan finansial, sehingga tidak benar-benar putus asa untuk mencari jalan keluar.

No place like home.
Sepertimu, mereka pun adalah anak-anak kesayangan Ayah Ibunya.
Namun setelah dewasanya, jalan hidup membeda.
Mereka di mana, engkau di mana.

Kita tahu data-data mereka di arsip pemerintahan. Namun soal jiwa mereka, cerita hidup mereka yang tidak ada mau tahu itu- kita buta. Saat ini jika kita bertekad, kita bisa mengupayakan program-program yang mampu memanusiakan, membahagiakan mereka.

No place like home.
Saya yakin mereka sudah sangat ingin pulang. Namun terlanjur jatuh dalam perjanjian, dan masih berduka sebab entah apa yang bisa dibawa pulang. Atau jangan-jangan ia memilih menetap lama, memperpanjang keberadaan, sebab ia malu karena negaranya seakan tak menatapnya berharga?

---------------------------------------------------------------------------------------------

#Peduliburuhmigran

Minggu, 05 April 2015

Mahkota Cahaya Untuk Ayah



Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Aku sedang dalam proses menghafal Al-Qur'an saat aku mendapat berita dari Medan bahwa Ayah dalam keadaan tak sadarkan diri. Ayah koma. Sehabis zuhur, saat mencoba tidur siang, Ayah tak bangun-bangun lagi. "Segeralah ke Bukittinggi. Rumah sakit akan mengoper Ayah ke sana karena rumah sakit Medan sudah tak sanggup lagi." kata Mama dengan tangis pilu di seberang telepon.

Saat aku mendapat berita itu, langit sudah nyaris senja. Menjelang maghrib. Aku berlari keluar kantor. Airmataku tumpah. Aku berlari mencari taxi dan segera menuju Airport Soekarno-Hatta setelah mampir di kost untuk mengambil beberapa baju.

Sepanjang perjalanan menuju Airport, di dalam taxi, yang kulakukan adalah terus menerus menangis dengan mushaf yang terus kupeluki. Aku teringat ayat-ayat Allah yang memberitakan bahwa setiap manusia pasti akan merasakan mati. Tidak bisa dimaju dan dimundurkan. Seketika hatiku menjerit pilu. Oh Tuhan, aku sudah menghafal ayat itu. Kuatkan aku, sabarkan aku untuk naik kelas, bahwa selain menghafal, aku juga harus mampu menjadikannya sebagai akhlak. Aku harus ikhlas jika itu terjadi pada keluargaku. Rasanya, aku seperti berperang hebat dengan diri sendiri.

Cahaya lampu di dalam taxi yang remang, tidak memungkinkanku untuk tilawah. Dan yang bisa kulakukan adalah memuraja'ah hafalan yang belum seberapa. Dengannya aku berharap Allah akan menenangkan jiwa yang kalut. Memudahkan apa-apa yang sebelumnya sulit. Untuk membunuh waktu, membunuh bisikan-bisikan syaithon yang mewas-wasi hatiku, kuhajar semua hafalan yang kupunyai. Kumuraja'ah semuanya. Keringat dingin menempeli leherku.

Aku sampai di Soekarno-Hatta menjelang satu jam perjalanan. Setelah membayar ongkos, aku yang belum membeli tiket pesawat- segera berlari-lari mencari loket tiket. Saat berlari, kuulangi kembali hafalan-hafalan yang kupunyai. Tiba-tiba saat aku berlari, seorang lelaki berjaket hitam menghampiriku dari arah yang tidak kusangka-sangka.

"Tiket Padang" tawarnya padaku. Diberikannya secarik kertas putih berukuran persegi panjang.
Dalam tangis, aku keheranan. Tidak ada yang tahu bahwa aku akan menuju Padang. Kubayar tiketnya. Dan saat kumasukkan kembali dompetku, aku berjalan menuju kursi untuk istirahat menunggu jam penerbanganku- lelaki itu mengatakan sesuatu yang mengejutkan:

"Mbak, tunggu apalagi. Pesawatmu sudah akan berangkat. Dengarlah, penumpang yang belum check-in sudah dipanggil-panggil." katanya menunjuk pengeras suara agar kudengar.

Aku terkejut bukan main. Belum sampai kudaratkan tubuhku ke kursi itu, segera aku berlari ke pintu keberangkatan. Kuucapkan terima kasih pada lelaki tadi. Yaa Rabb, nikmat-Mu mana lagi yang mampu kudustakan? lirihku bersimbah airmata lagi.

Sesampai di pesawat, aku langsung membuka kembali mushafku. Kutambah hafalanku beberapa ayat. Orang di sampingku memandangku penuh keheranan, kenapa aku membuka dan menutup qur'an dengan mata super bengkak. Dan saat lima ayat sudah kuhafal, tiba-tiba aku mengantuk luar biasa. Aku tidur dengan mushaf di dadaku. Tiba-tiba sebuah tangan memegang pundakku. Tangan seorang Ibu di sampingku.

"Kita sudah mendarat, Dek." katanya mengejutkanku. Kulempari pandanganku ke sekeliling. Penumpang lain sudah mulai merapikan barang-barangnya. Pesawat mendarat. Aku bengong luar biasa. Yaa Tuhanku, aku bahkan merasa baru 10 menit aku tertidur.

Aku sampai di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi, Ayah yang awalnya berada di UGD, dipindahkan ke ruangan khusus di ICU. Semua keluarga berkumpul. Kondisi Ayah terus menurun. Jantung dan nadinya melemah. Kata dokter, pembuluh darahnya pecah di bagian otak.

Malam itu, aku dengan ransel dan jaket tebal, meringkuk lemah di depan kamar Ayah. Tiba-tiba semua ayat-ayat yang kuhafal terpampang jelas di depan mataku. Semua terjemahannya tergambar jelas di hadapanku. Bahwa milik Allah semua apa yang ada di langit dan bumi, apa yang ada di antara keduanya. Allah hanya memberikan cobaan sesuai kemampuan hamba-Nya. Bahwa setelah dunia, ada kehidupan akhirat yang abadi. Dan bagi yang beriman, tidak akan ada rasa sedih baginya. Sebab ia meyakini hari pembalasan, sebab ia yakin bahwa ada surga yang bertingkat-tingkat.

"Di atas menghafal, ada maqam yang lebih utama, Sofiah. Yaitu mengamalkan. Kau yakin pada apa yang dikatakan Tuhanmu, kan? Atau kau hanya penghafal abal-abal yang hanya mau dibilang hafizhah tapi tak siap meyakininya?" kugertak diriku sendiri. Kumaki keimananku yang lemah.

Saat jam besuk tiba, aku diizinkan Mama untuk membesuk terlebih dahulu. Kedekatanku dengan Ayah, keakrabanku dengan Ayah, membuat Mama tahu betul bahwa aku sangat terpukul atas musibah itu. Dan saat kumasuki ruang ICU tempat Ayah dirawat, lututku lemas.

Seorang lelaki yang sangat kucintai, yang kemarin-kemarin masih ceria menghabiskan pulsa untuk mengobrol denganku lewat telepon. Aku berlari memeluk Ayah. Kukatakan betapa aku ingin mengganti posisinya jika Allah izinkan. Di tengah-tengah kerapuhan itu, kuletakkan mushafku di samping kanan Ayah.

"Ayah, dengarkan Ayah. Aku bacakan surah Luqmaan untuk Ayah. Surah tentang Ayah terbaik, kubaca untukmu wahai Ayah terbaik." kutahan airmata yang akhirnya jatuh bertumpahan.

"Alif laaam miiim. Tilka aayaatul kitaabil hakiim. Hudan wa rahmatul lil muhsiniin..." kumuraja'ah hafalanku dengan mata tertutup. Kuresapi setiap huruf yang kulisani. Kugenggam tangan Ayah. Dan saat hafalanku sampai pada ayat terakhir, tenggorokanku tercekat. Aku tak kuat. Tangisku pecah lagi, kupeluk Ayah. Aku berada pada posisi "Aku memang adalah seorang anak, namun aku juga tak boleh lupa bahwa aku dan Ayahku hanya HAMBA."

"Ayah, terima kasih untuk segala kemurahan jiwa Ayah selama mendidikku, membesarkan dan memuliakanku di depan dan belakangku. Terima kasih sudah sabar atas semua kekuranganku. Maafkan atas hak-hakmu yang belum semua kuberikan. Ayah, demi Allah dan Rasulullah, aku mencintaimu. Aku ridha padamu, hanya kesaksian baik tentangmu yang akan Ayah dapati dariku di hadapan Allah nanti. Ayah, aku akan menjadi muslimah seperti yang Allah minta agar hanya kebaikan yang engkau terima nanti..." tangisku semakin tumpah. Kupeluki Ayah dengan hati yang semakin hancur.

Kumuraja'ah kembali hafalanku. Aku sadar betul, hanya itu kekuatanku. Dan saat beberapa ayat keluar dari lisanku, kudapati hal mengejutkan.

Ayah yang dalam kondisi koma, meneteskan airmata.

Aku berteriak memanggil dokter dan suster, kukatakan bahwa Ayahku sudah sadar. Saat mereka semua datang memenuhi ruangan, diperiksa semua peralatan medis yang menempeli di tubuh Ayah, dan katanya Ayah belum sadar.

"Mbak, baca terus ayatnya. Insya Allah bapak mendengar." kata dokter padaku. Semua mata memandangku. Aku merasa jiwaku terhempas. Kumuraja'ah kembali hafalanku, sambil terus-terusan mencium pipi Ayah.

"Ayah dengarkah aku muraja'ah? Ini untukmu, Ayah. Untukmu, Ayah. Untukmu. Semoga Allah ridha padamu dan padaku.." ucapku sangat getir.

Jam besuk habis. Aku bisikkan pada Ayah bahwa aku pamit sebentar untuk mengadukan segalanya pada Allah. Di mushalla rumah sakit itu, aku bersujud habis-habisan. Kutambahi hafalanku di saat-saat menyakitkan itu. Kuminta petunjuk pada Allah, jika Allah memang ridha pada Ayahku, jika Allah akan menghusnul-khatimahkan Ayah, tolong aku diberi tanda. Aku ingin diberikan gambaran bahwa memang Tuhanku ridha jika memang Ayah akan dijemput-Nya.

Dan waktu itu, saat aku sedang tilawah untuk menambah hafalan, di hari Jum'at, dokter memanggil kami semua. Ayah kritis. Aku tahu ilmu talqin, tapi rasanya hatiku hancur saat akan melakukannya pada Ayah tercintaku. Dengan keringat di dahinya, Ayah pergi meninggalkan kami. Dalam duka yang mendalam, hati berkeping-keping, kutemukan tanda husnul khatimah yang kuminta pada Allah. Ayah wafat di hari Jum'at dengan dahi berkeringat.

Hafalanku belum selesai saat kisah ini kutulis. Aku masih dalam proses. Namun di nisan Ayah, aku mengatakan Insyaa Allaah tidak lama lagi aku akan datang mengaji tanpa melihat mushaf di makamnya. Aku akan hafalkan Al-Qur'an.

Jika ada yang bertanya begini padaku "Menghafal harus karena Allah. Bukan karena agar Orangtua masuk surga. Bukan karena anak ingin orangtuanya diberikan mahkota cahaya."

Maka, dengarkanlah jawabanku untuk siapa pun yang komentarnya kurang baik pada penghafal qur'an.

"Kami sedang melakukan apa yang dicintai Allah. Hanya dengan melakukan yang dicintai-Nya lah, ridha itu diberikan. Jangan salah mengartikan ridha. Untuk mendapatkan ridha, kau harus serius melakukan amalan shalih. Pemilik Surga dan Neraka adalah Allah. Pemilik Mahkota dan Jubah Cahaya itu adalah Allah. Terang saja, kami memintanya pada yang punya. Memangnya mau pada siapa lagi?"

Sahabat-sahabatku yang mencintai Ayah Ibunya karena Allah, berjuanglah menghafal qur'an. Jangan takut soal niat. Justru jika kalian berhenti menghafal hanya karena menunggu niat lurus dulu (padahal niat lurus itu bisa diproses dan soal ajal siapa yang tahu) justru kalian sedang riya. Karena meninggalkan amalan shalih hanya karena takut dinilai buruk oleh manusia.

Lakukan saja. Minta pada Allah segala yang kau butuh.
Jika mereka yang sudah wafat dibangkitkan, salah satu hal yang ingin mereka lakukan adalah menjadi ahlul qur'an. Kita yang masih hidup, kenapa berleha-leha? Kenapa menghanguskan kesempatan?

Hafalan yang masih belum sempurna ini tentu saja tak sanggup membeli Surga-Mu, Tuhanku.
Namun dengannya, kuharapi ridha-Mu. Sebab hanya yang Engkau ridhai saja yang boleh memasuki Surga. Tuhanku, satu hal yang membuatku masih betah di dunia fana ini adalah sebab cita-citaku menjadi hafizhah belum kudapati. Aku tahu ajal tak mampu dimajukan dan diakhirkan. Namun akulah manusia yang banyak maunya. Jika yang kuminta baik bagi akhiratku, tolong yaa Allah, hanya wafatkan aku setelah 30 juz itu bertengger kuat di dadaku.

Agar semakin tundukku. Semakin merasa hinanya aku di hadapan-Mu.