Rabu, 18 Desember 2013

Menjahit Iman

                                                           

Jakarta, Shafar 1435 Hijriyyah

Kejadian ini terjadi di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat.
Sejak aku mendaftarkan diri sebagai pasien jam 09.30 tadi, Alhamdulillaah aku harus melatih kesabaran di ruang tunggu. Sudah hampir 10 nama pasien yang dipanggil masuk ke ruang dokter, aku belum jua melihat tanda-tanda kalau giliranku sudah dekat.

Kepalaku mulai terasa semakin nyeri, Mahasuci Allaah yang memang kepala ini adalah hak-Nya. Mungkin ini harus kualami, sebab beberapa dosa yang terlanjur dilakukan- tidak mampu dihapus dengan istighfar dan shalat saja, mungkin harus ditebus dengan rasa sakit supaya lunas. Hehe benar-benar kabar penghibur.
Kalau saja anak manusia tahu bahwa dalam rasa sakit yang Allaah berikan- terdapat banyak keutamaan di dalamnya, mungkin mereka akan meminta rasa sakit seumur hidupnya. Hmm...

Aku membunuh rasa bosan di ruang tunggu dengan membaca beberapa artikel di situs Republika. Mataku tertuju pada sebuah judul; "Wanita yang Tertipu". Menarik sekali, bathinku. Dan aku mulai membaca keseluruhannya. Perlahan, secara berangsur, ada yang bergelitik di hatiku. Alurnya yang sederhana namun mampu menyampaikan pesan yang amat besar.

Tahukah engkau saudariku, rupanya dalam artikel yang bagus ini- aku tahu siapa salah satu wanita yang tertipu itu. Bukan wanita yang hartanya dilarikan oleh oranglain, Wanita yang kalung atau permata yang dibelinya ternyata adalah imitasi- dan bukan pula wanita yang ditipui oleh pasangannya. Bukan itu.

Wanita yang tertipu itu ialah wanita yang merasa bahwa ia sudah hebat, lalu melihat suaminya sebagai sosok yang berada di 'bawahnya' dan ia merasa begitu malas melakukan kewajibannya sebagai isteri disebabkan penilaiannya tentang pendampingnya yang tidak sepadan dengannya. Astaghfirullaah..

Tampak sederhana. Namun sungguh, bagiku ini sangat krusial. Sangat spesifik pembahasannya.
Berkali-kali aku mengucap syukur kepada Allaah karena mentakdirkanku menunggu lama di ruang tunggu untuk kemudian membaca artikel ini. Begitu banyak wanita yang diberikan Allaah nikmat yang banyak, diberikan Allaah kemampuan yang sesungguhnya hanyalah pinjaman semata. Lalu kemudian ia jadikan pinjaman itu untuk menindas oranglain, parahnya adalah Suaminya sendiri. Lalu, akan kemana wanita kufur itu dibuang, jika jalan menuju Surga-nya saja sudah dilukainya?

Wanita yang memiliki karier, memiliki uang dan pertemanan yang luas- sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding memiliki keluarga yang di dalamnya Asmaa Allaahu ta'aalaa diperdengarkan. Tidak ada manfaatnya wanita memiliki jenjang pendidikan yang memukau, jika dengan sengaja dan tanpa beban- ia merobek hati suaminya.

Jangan berfikir bahwa kesuksesan akan mengundang ridha Allaah. Apakah engkau fikir, mentang-mentang engkau memiliki karier lebih baik, lantas maqam-mu di hadapan Allaah jauh lebih tinggi dibanding suamimu? Jangan-jangan selama ini, Suamimu yang engkau anggap 'biasa' itu menjadi kecintaan Allaah, sebab ketawadhuannya? Tidak sepertimu yang tidak terlalu hebat, namun sangat mengangkuhkan hati?

Sikap kita adalah efek keimanan kita. Semoga kita tidak melihat terlalu lama, tidak mempermasalahkan terlalu rumit- tentang apa yang belum dimiliki Suami kita kelak. Sebab diri kitapun tidaklah begitu bagus amalannya. Bersyukurlah atas kehadirannya yang sudah menyelamatkanmu dari fitnah saat masa kesendirianmu, bersyukurlah sebab ia membentengimu dari jilatan api neraka. Dan kemudian bersabarlah atas apa yang kita lihat kurang darinya, nikmati saja- sebab itu pertanda kehadiranmu memang penting untuknya. Untuk melengkapinya. Subhaanallaah.

"Nona Siti Sofiah......" seseorang memanggil namaku. Aku terkejut.
"Silahkan.." suara itu melanjutkan panggilannya. Seorang suster berseragam putih, dengan kertas-kertas panjang di tangannya. Aku mengaangguk, sambil memasuki ruang dokter, aku menyimpan ponselku kembali ke dalam tas.

"Salaam'alaikum.." aku mengetuk pintu.
"Wa'alaikumussalaam.." suara pria !
Aku membuka pintu dengan ragu, seorang lelaki muda- duduk di balik meja.
"Silahkan, Mbak Siti, ya?" tanyanya- sambil menatap kertas di mejanya. Itu pasti kertas identitas pasien milikku. Aku mengangguk pelan.

 Aku masih berdiri dengan penuh kekalutan. Suster menghampiriku dari belakang. "Kenapa, Mba?" tanyanya heran. Kututup sedikit pintu ruang dokter- agar dokter itu tidak melihat.
"Aku mau dokter perempuan, Sus..." bisikku ke telinganya.
Suster tampak terkejut. Lalu kemudian menggeleng.
"Semua dokter disini pasiennya antri, Mba. Dokter Inne sedang istirahat. Memangnya kenapa? Udah, masuk saja.." katanya sambil pelan-pelan mendorongku untuk masuk.

Tiba-tiba pintu dibuka. Dokter itu menatap kami.
"Maaf, ada apa?" tanyanya.
Belum sempat aku mengeluarkan sepatah dua kata, Suster itu memegang bahuku- lalu kemudian membimbingku ke dalam ruangan.

"Ada keluhan sakit apa, Mba Siti?" tanya Dokter, yang kemudian aku tahu namanya dokter Rasyid.
"Sakit kepala, Dok.." jawabku.
Suster beranjak meninggalkan kami, aku mulai gelagapan.
"Bisa diceritakan lebih rinci?" pinta Dokter Rasyid.
Aku mengangguk. Kuceritakan bagaimana akhir-akhir ini kepalaku terasa selalu nyeri. Saat belajar, ada denyutan di kepala bagian kiri, dan mendadak selera makan hilang. Makanan yang biasanya menjadi favoritku, tampak tidak menggugah selera. Dan Ayah- lewat telefon- ia memaksaku untuk segera berobat.

"Silahkan berbaring, saya periksa dulu.." katanya menunjuk tempat tidur di sampingku. Astaghfirullaah, aku merasa ingin kabur saja. Aku berharap si Suster tiba-tiba masuk ruangan.
"Aku duduk saja.." tawarku pada Dokter.
"Kenapa? Saya mau periksa denyut jantung dan kelopak mata Mba Siti" katanya lumayan gusar.
Aku menggeleng, mungkin dengan mimik wajah sedikit mengiba.
"Saya diperiksa sambil duduk saja, Dokter. Insyaa Allaah bisa kok" kataku.
Dan Dokter Rasyid melakukannya.

"Bisa buka jilbabnya?"
APAA???

"Saya mau lihat efek sakit kepala yang Mba rasakan. Apakah ada kerontokan rambut, atau kulit kepala berwarna kemerahan" katanya pelan.

Refleks tanganku memegang kerudungku bagian depan, seakan menahannya.
"Aku enggak bisa" jawabku, dengan menahan amarah. Aku benar-benar tersinggung.

"Kenapa? Saya mau mengobati pasien saya, Mba datang kesini untuk berobat kan?" katanya dengan nada yang meninggi. Aku menunduk, suasana terasa sangat menyudutkan.

"Saya enggak bisa, Dok. Semuanya baik-baik saja, saya hanya sakit kepala biasa" kataku.
"Kalau sakit kepala biasa, kenapa berobat ke rumah sakit besar?" tanyanya, mencoba menjauhiku.
Astaghfirullaah, rasanya seperti adegan sinetron.

"Saya muslimah, Dok. Saya dikasih resep obat saja" tawarku, mencoba tampak tidak menjengkelkan.
Dokter Rasyid berjalan menuju kursinya, dan duduk sambil mengambil kertas putih di lacinya.
Selama hampir 5 menit lebih dia tidak bersuara. Kertas kosong di tangannya sudah penuh dengan tulisan. Dalam hati, aku meminta Allaah menguatkan. Apakah aku terlampau keras? Apakah aku terlalu idealis dan sok alim? Bukan, bukan itu. Aku hanya tidak mau setelah pulang dari rumah sakit ini, aku menyesal seumur hidup.

"Saya mau tanya satu hal.." Dokter Rasyid buka suara.
"Iya, Dok..." sahutku.

"Apakah Allah melarang membuka jilbab jika untuk pengobatan? Maaf ya, saya juga seorang Muslim, dan insyaa Allah tahu agama. Saya menghargai prinsip Mba yang tidak mau membuka jilbab, tapi apakah ini tepat? Bagaimana saya bisa kasih resep jika keadaan Mba yang sebenarnya saja saya tidak faham?"

Aku diam. Berharap ia tidak memaksaku menjawab.

"Mba Siti, saya juga seorang Muslim. Saya pemuda 27 tahun yang juga sering mengaji di majelis. Silahkan kalau tetap bersiteguh pada prinsip Mba, tapi maafkan saya karena saya tidak bisa mendiagnosis apa penyakit Mba dan saya tidak bisa kasih resep obat. Karena saya tidak bisa memeriksa Mba dengan maksimal" lanjutnya.

Aku mengangguk faham.
"Baik, kalau begitu, apa sudah selesai? Saya pamit..." ujarku, seraya merapikan tas di sampingku.

"Siapa yang menemani Mba Siti kemari?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Sendiri, Dok"
"Sudah menikah?" tanyaya.
Aku kembali menggeleng. "Makasih, Dok. Permisi" aku benar-benar memberanikan diri untuk meninggalkan ruangannya. Ada rasa malu dan takut yang mnengaduk-aduk. Aku mantapkan langkah untuk keluar dari lobby Poli Penyakit Dalam.

Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
"Mba, jangan makan cokelat, keju dan garam terlalu banyak" Dokter Rasyid mengatakannya, sambil berdiri di depan pintu ruangannya. Aku mengangguk, mengucapkan terimakasih dengan pelan- mungkin ia tidak bisa mendengarnya.

Sepanjang perjalanan keluar rumah sakit, aku mencegat angkot menuju kostanku. Dalam perjalanan menuju kost, kutelfon Mama.
"Gimana periksanya, Nak?" tanya Mama langsung.
"Kata Dokternya, fiah enggak boleh makan cokelat, keju dan garam terlalu banyak, Mama"
"Nah itu, dipatuhi ya Nak. Harus disiplin. Trus kata Dokternya, kamu sakit apa?"
Aku terdiam. Aku harus bilang apa ya?

"Sakit kepala ajah, Ma.." jawabku.
"Dokternya bilang apa ajah?" desak Mama.
Aku putuskan untuk menceritakan kejadiannya.
Mama mendengar- sesekali terdengar suara nafas berat.

Setelah berdiskusi hampir selama 10 menit, Mama memaksaku untuk mencari dokter lain untuk periksa. Mencari dokter perempuan seperti yang aku inginkan.

Ini pengalaman yang mungkin akan terjadi berkali-kali lagi di masa mendatang. Ini banyak dialami banyak pasien. Dan  kebetulan itu Allaah mentakdirkanku mengalaminya barusan. Tidak ada maksud untuk memposisikan diri sebagai orang yang baik- sama sekali bukan. Justru saking belum baiknya aku- makanya aku harus mengikuti keburukan yang kulakukan dengan kebaikan.

Kalaupun membuka jilbab untuk pengobatan ini diperbolehkan- aku dengan tegas menolak selagi aku mampu untuk menghindar. Karena bukan apa-apa, sepulang dari rumah sakit itu, jika aku jadi membuka jilbab, maka aku akan menyesal seumur hidup.

Tidak peduli sudah berapa uang pendaftaran pasien dan biaya konsultasi dokter yang dibayarkan, soal uang bisa diusahakan. Terpenting adalah prinsip yang tidak bisa dijual. IMAN yang sedikit ini harus diperjuangkan.
Aku bermimpi memiliki anak-anak yang shalih dan shalihah.
Aku bermimpi kelak aku ingin putera-puteriku tidak berpaling dari Islaam meski pedang sudah berada di leher mereka. Makanya, aku harus memulainya dari diriku sendiri. Aku tidak boleh melakukan hal yang menjatuhkan maruahku sedikitpun.

Kulakukan ini karena-Mu wahai Allaah.
Berikanlah kabar baik untuk putera-puteriku kelak, bahwa sejak masih gadis- Ummi mereka berjuang melawan dunia- dengan mati-matian :)